[Unexpected Journey I] - Kompleks Tamansari, KM 0 dan Karaoke (2)



Saya rencananya diajak oleh Budhonk ke tempat wisata sejuta umat yang sudah mainstream, yaitu Tamansari, sebenarnya saya sudah pernah kesini pada tahun 2013, namun karena saya tidak dapat menemukan objek tangga bercabang dan lorong bawah tanah yang berbentuk setengah kubah seperti bentuk masjid yang ada di foto-foto pariwisata, maka saya pun ingin ke sana lagi.

Sebelum ke sana, saya dijemput oleh Budhonk di penginapan sebelumnya untuk bergerak menuju penginapan berikutnya dekat terminal untuk check-in dan nitip barang dan agak kaget juga karena letak resepsionisnya tidak jelas dan sangat standar sekali (bekas kosan lama) bahkan kuncinya zaman kuda gigit besi. Harganya juga agak mahal pulak, dan konyolnya resepsionisnya itu berada di tempat laundry, wah...


Selesai urusan menitip barang, kami pun memutuskan untuk makan pagi di Pakualaman, terakhir saya kesini pada tahun 2017, awal mula ketemunya saya dengan kelompok MR.DOOSSS (dan juga Budhonk) dan sarapannya di sini sebelum berangkat ke Imogiri. Namun kali ini saya makan soto, direkomendasikan oleh Budhonk sendiri.


Setelah makan, kamipun lanjut perjalanan ke Tamansari dan ketika kami sampai di tujuan kami pun terheran-heran dan benar-benar mengejutkan karena pengunjung saat itu sangat ramai padahal bukan hari libur atau tanggal merah, saya rasa kami tidak akan bisa menikmati dengan nikmat.


Ketika selesai membeli tiket dan masuk ke area Tamansari dan ternyatan benar saja, ternyata benar-benar banyak pengunjung yang saling rebutan untuk mengambil gambar dan bernarsis ria. Boro-boro menikmati keindahan arsitektur Tamansari yang merupakan tempat pemandian raja pada masa lampau, untuk berjalan saja agak susah karena banyak orang lalu-lalang, jadi kurang mood untuk berjalan di Tamansari.


Tamansari


Sebenarnya tujuan utama saya kesini karena saya belum pernah ke bangunan kuno yang ada di bawah tanah, namanya Sumur Gumuling yang merupakan masjid kuno pada masa Sultan Hamengku Buwono I yang , pada tahun 1758. uusut punya usut ternyata kita harus berjalan kaki menyusuri perkampungan warga terlebih dahulu



Ternyata, bangunan tersebut terletak di bawah tanah, dan merupakan masjid bawah tanah kuno, yang perlu melewati lorong yang gelap (dahulu difungsikan sebagai tempat perlindungan untuk mengelabui Belanda) dan tembusnya di tangga bercabang lims yang sudah cukup terkenal, namun karena banyaknya manusia di sini, saya pun menjadi tidak berselera dan memilih untuk foto seadanya saja yang penting ada.

Sumur Gumuling


Keluar dari bangunan bawah tanah, kami pun tiba di permukaan tanah, namun kami putar badan dan langsung puter balik ke atas (ada tangga lagi) yang ternyata saya baru tahu bahwa di dekat sana ada bangunan kuno yang rupanya adalah reruntuhan bangunan lawas, orang mungkin tidak pada tahu namanya apa tetapi bangunan tersebut punya nama, yaitu Situs Pulo Kenanga yang merupakan cagar budaya yang dilindungi. Walaupun hanya berupa reruntuhannya saja dan terlihat kurang terawat tetapi keagungan bangunan ini masih jelas terlihat. 


Pulo Kenanga



Sejauh mata memandang, sepertinya tempat ini biasa digunakan orang untuk foto prewed, dan kalau Anda pintar memilih angle atau sudut pemotretan pasti hasilnya akan keren sekali, bahkan orang akan bertanya-tanya di mana tempatnya walaupun lokasinya berada di tempat paling mainstream sekalipun. Malah banyak turis asing yang datang mengunjungi tempat ini.

Terowongan ke Pintu Keluar

Keluar dari area Tamansari melalui terowongan yang lumayan panjang, perjalanan dilanjutkan menuju Kilometer 0 di dekat Malioboro, untuk hunting foto bangunan kuno peninggalan zaman kolonial Belanda yang bersejarah, tentunya gedung-gedung tersebut bisa digunakan sebagai kenang-kenangan, dan benar saja walaupun saya setiap bulan bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, tetapi saya tidak pernah berfoto ria di daerah KM 0, hanya lewat saja padahal kalua dipikir-pikir bentuk arsitekturnya sangat bagus dan sayang jika dilewatkan.

Di daerah KM 0 juga tersedia toilet bawah tanah (letaknya persis di depan Gedung Bank Indonesia) yang beberapa waktu lalu diresmikan, menurut media yang saya baca sih katanya sekelas hotel bintang lima, karena saya penasaran maka saya mencoba masuk ke dalam walau hanya untuk sekadar cuci muka saja, dan kesan pertama saya sih memang bagus, namun tidak mewah, malah agak kotor terutama di dalam kubikal toilet tetapi untuk perawatannya masih terlihat baik, terlihat ada meja yang digunakan sebagai penjaga toilet yang di dalamnya ada system kontrol CCTV, jadi keamanan terjamin.


Saya dan Budhonk pun berfoto-foto dengan latar pemandangan gedung kuno Bank Indonesia, Pos Indonesia, dan BNI, serta menyeberang sedikit kearah tugu Monumen 1 Maret dan Istana Presiden sambil duduk-duduk di kursi yang telah disediakan karena badan agak capai dikarenakan hawa panas yang sangat menyengat hati dan jiwa.


KM 0 Yogyakarta
Ketika hati sudah puas berfoto ria kiri kanan atas bawah, kami pun cabut menuju daerah Condongcatur karena sudah janjian karaoke dengan Riay dan Cak Nur. Untuk diketahui karaoke di daerah Condongcatur ini harganya relatif murah jika dibandingkan dengan karaoke besar di Kota Yogyakarta, namun jika dibandingkan dengan Jakarta, maka harganya sangat murah apalagi hari biasa atau happy hour, bahkan kalau karaoke dua jam bisa dapat voucher satu jam.


Sayang, mood sedang kurang bagus sehingga saya kurang on-fire dalam berkaraoke, walau begitu pada dasarnya mereka memang doyan nyanyi, terutama Riay yang luar biasa. Di sini kami menyanyikan lagu-lagu tembang cendol dawet, lagu Jawa, dan beberapa lagu mainstream, tetapi sayang entah kenapa saya tidak bisa menikmati dan benar-benar tidak berselera sama sekali, maafkan daku kawan-kawan.


Sorenya, Cak Nur mempunyai banyak voucher dari Preksu, restoran ayam geprek uang menitikberatkan pada susu, kami pun cus ke daerah belakang Gejayan untuk mendatangi restoran tersebut, saya baru pertama kali makan di sini, ternyata sistemnya adalah memilih ayam terlebih dahulu di depan dan nasinya (serta lauk pendukung), lalu jalan ke mbak-mbak yang sudah memegang cobek dan mbak-mbak tersebut akan meminta ayam kita untuk digeprek seperti apa serta level kepedasan seperti apa, setelah memberikan ayam kita maka mbak-mbaknya menggeprek ayam tersebut di hadapan kita lalu diberikan ke piring, terakhir ke kasir dan membayar.


Saya senang di sini karena minumnya bisa refil dan harganya juga relatif murah sehingga cocok untuk saya yang liburan budget. Ternyata Riay telah janjian dengan temannya, Ryan anak UNY Teknik Mesin, ternyata Ryan telah memesan sebotol wine dibeli ketika Riay berlibur ke Bali, kami pun makan sambil mengobrol sambil diikuti kucing abu-abu belang yang sepertinya hendak ikut mengobrol dengan kita. Hanya saja agak disayangkan Riay harus undur diri lebih dulu karena dia sudah harus berbelanja harian ke Superindo yang merupakan tradisinya.


Ketika Riay undur diri, bukan berarti kami juga undur diri, kami malah mengobrol lama, walaupun pada awal-awalnya Ryan ini tidak terlalu welcome dengan kami, tetapi begitu ngobrol buset topiknya sangat berat, jarang-jarang ada orang yang mengimbangi obrolan ku terutama tentang pesawat terbang, usut punya usut ini orang ternyata memang suka pesawat katanya (pantes), juga jaringannya juga luas.


Namun ada suatu kejadian yang lucu, di tengah aktivitas mengobrol ternyata diam-diam kucing tersebut memakan selendang kesayangan Budhonk yang diselempangkan di tas nya, akhirnya Budhonk pun langsung bereaksi dengan menarik selendangnya tetapi lucunya kucingnya tidak mau melepaskan gigitannya, aduh sumpah lucu banget. Sepertinya Budhonk ini hobi dikerubuti meong.

Searah jarum jam : Karaoke, muka Riay yang menggemaskan ketika melihat kucing, kucing tersebut memakan selendang Budhonk, dan tampilan ayam geprek

Hari pun sudah mulai malam, kami pun kembali pulang ke tempat masing-masing, dan saya diantar ke penginapan saya yang begitu masuk lebih mirip kosan.


Selesai sudah kisah hari ini.
Kisah berikutnya : [Unexpected Journey I] - Candi Sambisari dan Bukit Bintang Yogyakarta (3)

Komentar