[Mid '18] Lombok 2-1 : Pantai Pink + Insiden dan Desa Adat Sade


Mulai Perjalanan
Kami berangkat menggunakan motor dari penginapan saya menuju Pantai Pink, sebenarnya proses menuju kesana yang menarik karena suasananya hijau kering, benar-benar seperti di Nusa Tenggara yang sebenarnya. Namun jangan bayangkan perjalanan yang kami lakukan ini mudah-mudah saja, sama sekali tidak ! Apalagi menggunakan sepeda motor.

Mantap

Total jarak perjalanan kami hari itu adalah 205 KM ! Kira-kira jaraknya hampir mendekati Jakarta - Cirebon. Syukurlah Simbok ini pengalaman menyetir motornya sangat jago, di atas rata-rata.

Dengan Bismillah, akhirnya kami mulai perjalanan dari penginapan di Jalan Kertanegara yang berada tepat di tengah kota secara santai, alhamdulillah jalan di Lombok ini sudah seluruhnya teraspal serta besar dan lebar apalagi arah menuju bandara, serta lurus-lurus saja (jarang belok -belok) sehingga tidak ada macet dan tidak ada masalah serta motor dapat dipacu dengan kecepatan tinggi.

Total perjalanan dari penginapan ke Pantai Pink berjarak 90 KM sekali jalan, 80 km pertama memang jalan terasa nyaman tanpa ada halangan yang berarti, namun....

Peringatan : hanya saja jalan 10 km menuju Pantai Pink tidak ada aspal, jalan berbatu alias off road. Ditambah hujan membuat jalannya menjadi berlumpur dan lunak. Celakanya kami berdua sama-sama kebelet buang air kecil, saya mungkin masih enak namun Simbok diposisi yang sulit.

Hutan 


Terjadi Insiden Kecil
Dan benar saja, setelah beberapa kilometer melewati jalan berbatu tersebut dengan kecepatan tinggi, alhasil kami berdua jatuh dan lucunya kami tidak sadar ujug-ujug rasanya sudah di bawah ketimpa motor, hal tersebut terjadi karena menahan rasa ingin buang air kecil jadi yang nyetir juga kurang fokus. Untuk mengurangi rasa tidak fokus kami berdua berinisiatif untuk buang air kecil disemak-semak saja karena perjalanan masih panjang.

Bukan saya jika tidak mengabadikan atau menceritakan proses dari liburan, bahkan ketika kami masih kena musibah jatuh pun saya minta tolong teteh untuk mengambil gambar kami yang penuh dengan lumpur, untung kami masih pakai jas hujan.


Tumbang

Dan gebleknya, begitu saya membangkitkan motor saking buru-burunya dan karena kalut karena kebelet buang air kecil, ternyata yang tak pegang adalah gas ! Bukannya motornya berdiri yang ada malah lari gak karuan dan alhasil nyungsep lagi ! Kira-kira gambarannya seperti ini, persis banget.


Untuk mengurangi rasa tidak fokus kami berdua berinisiatif untuk buang air kecil disemak-semak saja karena perjalanan masih panjang, maka setelah urusan tersebut selesai dan kami sudah kembali fit, akhirnya perjalanan lanjut dengan sangat hati-hati hingga akhirnya tiba di Pantai Pink.

Pantai Pink
Terlihat suasananya masih agak asri dan tidak turistik karena jauhnya bukan main, bahkan warung yang tersedia pun hanya sedikit, fasilitas pendukung lainnya adalah musholla dengan konsep ruang terbuka, dan kamar mandi dan toilet umum nya pun hanya dua yang "beneran", dan yang lainnya adalah kamar mandi temporer yang dibuat swadaya oleh warga lokal di sana untuk membilas (dengan ember) dan ganti baju yang tentu dikenakan biaya.

Lautnya benar-benar masih biru dan indah, suasananya masih asri dan lumayan bersih, mungkin kalau foto dari atas bakal terlihat lebih bagus pemandangannya. Namun sayang pasirnya itu tidak benar-benar pink seperti di NTT (Labuan Bajo), hanya saja pasirnya agak kemerahan jika terkena matahari, atau pink beneran kalau masih pagi kata warga lokal yang kami sempat ngobrol.

Kelemahannya adalah tidak ada sinyal telepon, takutnya kalau ada darurat jadinya sulit.

Pantai Pink


Tiba-tiba kami berinisiatif untuk snorkeling, akhirnya kami bertemu dengan warga lokal yang hendak menyewakan alat snorkling dan penyewaan boatnya, sebut saja namanya Husen. Dia memperkenalkan diri lalu berkata bahwa kalau mau snorkeling tidak bisa di pinggiran saja, mesti ke tengah sekalian dan harus menyewa kapal boat. Dia menawarkan :

Sewa Kapal : Rp450.000 nego

Sewa Alat    : Rp25.000

Setelah nego berhasil, kami naik kapal boat yang isinya dangdutan dan sekantung alat snorkling menuju ke tengah laut. Pemandangannya memang indah sekali dan masih alami serta lautnya benar-benar biru tidak ada sampah yang mengapung. Kalau melihat ke belakang suasananya seperti di Labuan Bajo, salah satu destinasi impian saya mudah-mudahan kami semua dapat ke Pantai Pink beneran.

Pemandangan Yang Indah
 
Perahu pun berhenti di tengah laut dan kami langsung nyebur, celakanya itu laut lepas dan dalam banget serta arusnya kenceng jadi kalau kita berenang pun pasti terbawa arus ! Pemandangan di bawah laut nya sih menurut saya biasa saja jika dibanding tempat yang memang dikhususkan untuk tempat snorkling seperti Derawan atau Raja Ampat.

Konyolnya adalah saya tidak menggunakan baju renang hanya telanjang dada jadi begitu naik langsung masuk angin dan mual padahal baru juga liburan mana pakai motor pulak. Tapi alhamdulillah setelah minum obat masuk angin dan tenaga masih fit badan saya bisa pulih kembali setelah sampai daratan.

Akhirnya setelah membilas diri dan berganti pakaian, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Sade, dan memang proses itu terkadang lebih menarik, seperti foto di bawah ini kan sebenarnya bukan di objek wisata, tapi hanya jalanan biasa tetapi pemandangannya bagus dan terlihat sangat alamiah.

Simbok dengan pemandangan


Tips :

  • Jika tidak mendesak banget, mending cari alternatif pantai lain seperti di Gili, atau kemari menggunakan kapal jauh lebih enak (katanya guide yang mengantar saya waktu saya trip bisnis sih bisa hanya tidak tau dari mana), karena pakai mobil juga sangat susah aksesnya, motor apalagi, dijamin yang tidak kuat jalan off road pasti pada jackpot dan spakbor atau suspensi mobil/motor pasti rusak kecuali off road vehicle karena faktor infrastruktur.
  • Jika nekat, foto-foto di sepanjang perjalanan menuju Pantai Pink sangat bagus, bahkan lebih mirip di Flores atau Komodo, karena ada beberapa savana. Ini poin plus nya.
  • Tidak akan cocok untuk membawa anak kecil, karena terlalu alami takutnya bosan, dan tidak ada sinyal pula.
  • Tidak ada restoran, hanya warung saja jika mau makan.


Desa Sade
Desa Sade adalah desa adat yang masih asli dan masih mempertahankan arsitektur aslinya hanya saja dasar pembuatan lantai terbuat dari kotoran kerbau jadi hati-hati jangan asal duduk saja di lantai takutnya baju yang dikenakan menjadi najis.


Dan karena ini merupakan objek wisata yang sudah terkenal, dan karena pengembangan Bandara Internasional Lombok dan Kuta Mandalika maka jalan ke sini tidak ada masalah sama sekali karena jalannya lebar, mungkin kalau malam agak gelap.


Desa Adat Sade
Kami ditemani oleh pemandu atau guide yang pikirannya visioner dan tergolong maju serta berpendidikan, yaitu Bruno, nama aslinya saya lupa hahaha. Dia bercerita banyak hal, salah satunya jika suka dengan perempuan dan hendak menikahi (dalam Suku Sasak) maka caranya tergolong simpel, yaitu seorang laki-laki diam-diam membawa (sebenarnya menculik, makanya disebut kawin culik) perempuan yang dia suka untuk jadi istrinya hingga keesokan harinya (ke tempat saudaranya biasanya) karena perempuan Sasak kalau tidak salah tidak boleh pulang setelah Isya. Jika keluarga menyadari anak perempuannya hilang setelah Isya, maka orang tua biasanya akan mencari dengan menyuruh orang dan melaporkan kepada ketuanya, dan keesokannya sang laki-laki memberi tahu kepada keluarganya jika ada niatan untuk menikah, dan selesai. Simpel kan? 

Dan di Desa Sade ini kekerabatannya tinggi menurut Bruno, karena harus menikah dengan orang-orang disana juga jadi bisa dibilang masih satu keturunan, jadi kemungkinan mereka menikahi sepupunya agar tali kekerabatannya tetap terjaga dan juga lebih murah maharnya, kalau menikah dengan luar penduduk sini harus menyiapkan mahar yang besar seperti kerbau dalam jumlah tertentu, dan untuk menikah harus melakukan tradisi kawin culik seperti yang dijelaskan di atas.



Untuk ciri khas arsitektur rumah-rumah di Desa Sade di mana tempat tersebut merupakan adat dari Suku Sasak rata-rata dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan ditopang dengan kayu dengan atap terbuat dari jerami yang sudah dikeringkan. Rumah di sini katanya masih orisinil, bentuknya sudah seperti ini dari dahulu, berbeda dengan desa adat Ende yang terlihat buatan.

Di sini juga bisa belajar bertenun dengan orang yang ahli karena pekerjaannya ya menenun kain songket, katanya jika perempuan Sasak yang hendak menikah harus bisa menenun suatu kain songket untuk suami, ibu mertua, dan diri sendiri dan jikalau tidak bisa menenun maka belum diperbolehkan untuk menikah, sungguh suatu hal yang unik. Selain itu juga di sini ada tempat foto yang direkomendasikan yaitu bernama Pohon Cinta, yang katanya kalau pasangan yang berfoto di sana bisa langgeng.



Fasilitas yang tersedia dalam Desa Sade cukup baik, terdapat toilet yang standarnya oke, musholla, beberapa kios yang menjual pernak-pernik dan souvenir khas Sasak (dijual oleh warga sana) dan yang penting bisa menawarnya saja.

Tips yang mungkin berguna :

  • Desa Sade memiliki kontur tanah yang tidak rata, sehinga jalannya berundak-undak dengan tangga, jadi kereta dorong/kursi roda tidak cocok untuk mengelilingi desa.
  • Kalau hanya di depannya pun juga agak sulit tapi masih bisa. Desa Sade buka 24 jam, namun baiknya datang di waktu terang karena lebih bagus untuk difoto serta tidak mengganggu, karena itu memang desa asli yang masih ditinggali penduduk.
  • Masuknya sukarela, yang penting isi buku tamu berisi kesan dan pesan serta masukkan uang ke dalam boks.
  • Kalau membawa orang tua atau anak-anak menurut saya masih bisa asal bisa jalan dan sedikit naik tangga, tidak terlalu jauh jadi ideal, toh juga banyak kursi.

Komentar