Kisah : Agustus 2017 yang Penuh Kenangan di Yogyakarta


Kisah ini ditulis jauh sebelum adanya blog ini, ditulis di Facebook dan saya terbitkan sebagai cerita pendek tentang perjalanan yang memiliki "trip report". Dan foto yang disuguhkan sedikit karena cerita sudah lama jadi banyak foto yang lenyap dan nanti akan diperbaharui jika foto sudah ditemukan. Beberapa gambar hilang karena hostingnya bermasalah, jadi beberapa cerita mungkin cukup dibayangkan saja ilustrasinya.


Prolog

Sebelum saya melanjutkan studi saya ke perguruan tinggi, sebenarnya saya sudah suka dan senang dengan hal yang berbau dengan konten lokal , waktu itu saya masih senang dengan konten lokal budaya khas Indonesia, dan memang saya waktu itu belum suka dengan budaya lain.Seiring berjalannya waktu, dan pengalaman, maka saya mulai menyukai konten lokal dari masing-masing daerah di Indonesia, dan luar negeri ketika kaki saya berpijak, karena setiap tempat mempunyai budaya atau hal yang unik, entah itu budaya asli atau akulturasi/asimilasi dari budaya lain. Hal di atas karena belajar Sejarah Seni Rupa dari kuliah di Interior Design.


Cerita disajikan dalam bentuk Trip Report atau Laporan Perjalanan dari liburan Agustus lalu, dengan penambahan cerita singkat dari trip bulan lalu sehingga tidak basi.

Kisah di Yogyakarta (I) - Pra Liburan


Saya memang sudah sangat sering ke Yogyakarta, namun Agustus lalu agak berbeda, karena mengunjungi tempat yang lebih menelaah kepada khas lokal dari Yogyakarta, dan saya paling anti dengan liburan yang tidak sesuai konten lokal dari daerah tersebut. Seperti berkunjung ke Yogya tapi hanya ke mal kalau tidak perlu, buat apa? Jakarta sudah banyak mal, atau ke Yogya tapi hanya mampir ke bar yang jelas-jelas di Jakarta lebih banyak dan keren. Satu lagi, selain konten lokal, saya menikmati liburan dengan melihat proses menuju ke tempat liburan tersebut, jika orang hanya mengabadikan tempat wisata nya, saya lebih mengabadikan dan menikmati proses perjalanan ke tempat wisata, karena di situ ada hal yang baik atau tidak tetapi menarik untuk diceritakan.


Perjalanan ini merupakan perjalanan yang cukup berkesan, karena saya baru putus dengan mantan saya yang hampir 6 tahun pacaran sehingga timbul rasa kegalauan luar biasa, dan terbang naik pesawat sendiri (sudah lama tidak terbang sendiri), jalan-jalan ke tempat wisata yang baru dengan saudariku dan bertemu dengan teman-teman yang baru. Jadi saya ingin menceritakan sedikit.


Proses Perjalanan

Di sini saya tidak mengulas pesawat terbang karena sudah sangat umum dan tidak niat, hanya menceritakan kisahnya saja.


Pada 14 Agustus 2017, saya berangkat menggunakan pesawat Batik Air dari Halim Perdanakusumah dan konyolnya pesawat saya terlambat atau delayed karena menunggu Angkatan sedang latihan dan saya hanya bisa menunggu di landasan selama dua jam lamanya. Singkat cerita,ctiba di Bandara Adisucipto di Yogyakarta 2 jam lebih lama dari jadwal sehingga saya harus berlari mengejar kereta ke Klaten (tempat nenek) agar tidak kemaleman.



Saya berencana mulai berwisata atau liburan pada keesokan harinya, yaitu pada tanggal 15 Agustus 2017. Ketika mendarat dan tiba di bandara Adisucipto, saya sudah disambut pengumuman (announcement) pesawat terbang dengan bahasa Jawa , agak unik karena pengumuman tersebut merupajan konten lokal yang kita tidak temui dimanapun di Indonesia (waktu itu, Solo belum ada Bahasa Jawa) untuk sementara ini (kecuali di Dubai).


Ngomong-ngomong kalau Anda pas mendengar suara pengumuman dalam Bahasa Jawa tersebut, apakah Anda kepikiran untuk mengabadikan suara tersebut? Kalau saya sih pasti abadikan. Karena hal tersebut merupakan suatu tanda kita berada di daerah tersebut, dengan konten lokalnya adalah announcement Bahasa Jawa.


Tidak lama setelah mendarat, saya berlari kecil ke Stasiun Maguwo (stasiun bandara) yang jaraknya agak jauh dari terminal bandara karena mengejar waktu keberangkatan kereta, walau begitu saya masih bisa merekam dan mengambil gambar objek atau tulisan unik yang saya lewati, termasuk tulisan “Toilet Putra / Putri” dibanding “Toilet Pria / Wanita”. Apakah Anda menemukan di bandara lain di Pulau Jawa?


Tiba di Stasiun Maguwo, saya membeli tiket Prambanan Ekspress, yang ternyata bisa dibeli go-show, tiket seharga Rp8.000 flat (semua tujuan) waktu itu harganya segitu, dan sambil berjalan saya sempatkan untuk memotret jadwal agar kita bisa tahu jadwal kereta dan kenang-kenangan bahwa saya pernah mengunjungi stasiun tersebut.




Bahkan saya dapat pemandangan yang bagus dari stasiun ketika menyeberangi rel. Dan kereta datang pun dengan livery (corak badan kendaraan) motif batik dengan promosi sinergi BUMN dan daerah Joglosemar (Jogja,Solo,Semarang). Motif kereta tersebut sebenarnya agak tacky. Namun kalau dipikir, apakah corak pada badan kereta tersebut ada di kota Anda selain ‘Joglosemar’ ? Saya rasa tidak ada, bahkan kereta Prameks (KRD) pun tidak ada di Jakarta, apalagi di Kalimantan atau Sulawesi ?


Oleh karena itu, saya harus mengabadikan corak pada badan kereta yang sebenarnya hanya membawa saya ke kampung eyang saya di daerah Klaten yang jaraknya tidak jauh, akan tetapi karena kereta ini tidak ada di Jakarta, ya itulah konten lokal nya, bahwa kereta yang saya naiki ini jelas menandakan bahwa saya berada di salah satu daerah Joglosemar !

Termasuk di dalam interiornya, suasana kereta dan penumpangnya tentu berbeda dengan Jakarta atau di daerah lain. Pemandangan di luar kereta juga berbeda dengan Jakarta, yaitu hamparan sawah-sawah yang terbentang luas yang masih asri dan tidak ada objek yang menganggu pemandangan.


Lama kemudian, saya tiba di Stasiun Klaten, sebuah daerah di bagian atas DI Yogyakarta namun provinsinya berada di Jawa Tengah. Walaupun saat itu saya belum melakukan liburan karena baru berkunjung ke tempat wisata nya esok hari, tapi saya anggap saya saat itu telah berwisata dengan mengabadikan arsitektur stasiun, dan bunyi persinyalan kereta yang bunyinya masih ‘teng tong teng tong’ , keduanya sudah dibuat dari zaman Belanda sehingga terasa keunikannya.


Syukurlah, untuk mencapai tempat eyang saya, saya dijemput oleh kakak sepupu saya yang bernama Mbak D, dengan menggunakan sepeda motor. Walau begitu, saya tetap masih bisa menikmati liburan dengan mengabadikan dan medokumentasikan pemandangan sawah dan rumah kuno khas perdesaan yang masih asli karena arsitekturnya menggunakan kayu.


Tiba di rumah eyang, saya bertemu tante dan anaknya yang akan menjadi partner liburan saya selama di Yogyakarta nanti, sebut saja namanya Icha, yang telah datang dari Jawa Timur satu jam sebelum saya namun mereka terkena radang tenggorokan karena minum teh kemasan.

Sebenarnya, sesuai yang telah saya bilang di atas, liburan saya baru mulai besok, tetapi saya merasa sudah menjalani liburan yang sesungguhnya, dengan menikmati proses perjalanan saya dari Jakarta - Yogyakarta - Klaten yang sesungguhnya menarik untuk dinikmati.

Kisah di Yogyakarta (II) - Menelaah Sisi Lain Yogyakarta Berdasarkan Sejarah


Tanggal 15 Agustus 2017, saya dan Icha mengendarai motor sewaan menuju DIY dari Klaten, walau sejujurnya yang menyetir Icha karena dia punya SIM C, sedangkan saya hanya ada SIM A di dompet, dan juga saya tidak bisa naik sepeda motor, payah hahahaha.


Untuk perjalanan kali ini, saya hanya nurut dengan Icha, pasrah mau dibawa kemanapun yang penting tempat tersebut menarik dan ramah dikantong. Sebelum berangkat ke jalan raya, kami menyempatkan diri untuk membeli masker dan mengencangkan tali rem agar selamat sampai tujuan. Jujur saja, saya baru pertama kali naik motor antar-kota di Jawa, jadi bisa dibilang saya itu ndeso kegirangan. Ingat, proses liburan itu lebih asyik dibanding hasil dari liburannya.



Objek wisata ini kalau dipikir-pikir seperti melintasi sejarah, dari zaman pra sejarah, sejarah kemerdekaan, hingga modern


Tebing Breksi

Sebelum tiba di tempat wisata pertama yang akan dikunjungi, yaitu Tebing Breksi, kami menikmati proses untuk menuju objek wisata, termasuk menikmati pemandangan yang hijau, dikerjain Google Maps hingga salah belok, hingga jalan yang dilewati ternyata medannya mendaki terus, merupakan pengalaman yang baru buat saya (namun tidak untuk Icha, dia lebih pengalaman apalagi Icha adalah walang atau wanita petualang dan naik motornya di atas rata-rata orang Indonesia karena tertib lalu lintas).




Setelah melakukan perjalanan sekian lama, kita mendarat di Tebing Breksi, jujur saja saya juga baru tahu belum lama ini tentang objek wisata tersebut, di sini kami dikenakan biaya sukarela. Tempatnya lumayan bagus, cukup terawat, dengan ada ukiran wayang di dinding tebing, serta tempat untuk duduk-duduk (mungkin juga dimanfaatkan sebagai acara). Di sini juga bisa beristirahat di bale-bale yang mempunyai pemandangan bukit dan lembah, dan bagi pecinta aviasi, di bagian atas tebing juga bisa bersantai sambil melihat pesawat yang terbang atau mendarat dari runway 27 bandara Adisucipto. Tempat ini merupakan hasil dari fenomena alam yang alami dari masa lampau, bukan dibuat-buat seperti negara tetangga. Jadi Indonesia mempunyai banyak konten lokal yang alami.


Her name is Icha, she's an adventurer


Waktu itu Tebing Breksi belum terlalu turistik namun sekarang sudah ramai orang berbondong-bondong kemari. Sudah terlalu banyak turis jadi malas.


Candi Ijo

Melanjutkan perjalanan dari Tebing Breksi, kemudian kami beralih ke Candi Ijo yang ternyata berlokasi tidak jauh dari Tebing Breksi, hanya 1 km saja. Candi ini merupakan candi tertinggi di Yogyakarta, walaupun tidak sebesar Candi Prambanan atau Ratu Boko, tetapi Candi Ijo menyuguhkan detil bangunan yang indah dan artistik, dengan hamparan pemandangan yang indah yang sayang dilewatkan. Tiket masuk sangat terjangkau, hanya Rp10.000,- namun karena edisi kemerdekaan, jadi kami masuk GRATIS !



Semoga tempat ini dapat selalu terawat dengan baik, karena peninggalan sejarah seperti ini merupakan daya tarik wisatawan yang berkunjung, ini adalah khas lokal (local content) khas Yogyakarta, walau ada proses asimilasi, tapi percayalah, Candi Ijo bisa menjadi alternatif dari Candi Prambanan yang mempunyai tipe yang serupa. Dan yang pasti tidak turistik ! Masih sepi.




Keraton Ratu Boko

Tidak jauh dari Candi Ijo, ternyata masih ada peninggalan pra-sejarah yang menarik untuk dikunjungi, jaraknya juga masih dekat dan searah pulang ke Yogyakarta, yaitu Keraton Ratu Boko. Dengan mengandalkan GPS, akhirnya kami bisa sampai dengan selamat, ada perbedaan mencolok antara Ratu Boko dengan objek yang kami kunjungi sebelumnya, di sini lebih tertata rapi dan bersih, serta loketnya pun sudah modern. Usut punya usut, ternyata manajemennya sama dengan Prambanan dan Borobudur (PT Taman Wisata Candi), namun di sisi lain, pasti harganya bakal serupa dengan objek wisata Prambanan, setelah ke loket, ternyata tidak salah juga karena masuk sana Rp40.000, jelas agak mahal dibanding dua tempat sebelumnya yang sukarela dan Rp10.000 (tetapi tadi gratis karena edisi kemerdekaan).


Tempatnya besar, tertata dengan rapi, sistem tiket menggunakan mesin seperti naik MRT, cuma disayangkan bentuk tiketnya engga banget, seperti tiket bioskop ‘segeve’ cuma lebih simpel dan hal tersebut mengakibatkan tidak bisa dikoleksi.



Toilet tersedia dengan standar mal, bersih dan terawat, dan sebelum masuk ke dalam area candi terdapat pemeriksaan tiket, setelah itu langsung disuguhi taman yang rimbun, makin ke atas ada bekas reruntuhan candi yang bagus, namun tidak sedetail Candi Ijo.


Jika mengambil foto dari jauh pasti bagus, namun kalau dari dekat agak kurang bagus. Area ini sangat besar, lebih besar dari Candi Borobudur , namun sayangnya hanya bekas reruntuhan saja yang bisa kita lihat, seperti tempat pemandian, tempat pembakaran, pendopo, sumur suci, dll.




Mungkin karena siang hari, jadi tidak terlalu bagus. Di sarankan agak sore hari karena pemandangan senja yang bagus. Kalau hanya untuk sekali kunjungan menurut saya oke saja untuk melihat area ini, dan juga tidak begitu turistik. Walau begitu, ini merupakan local content zaman pra-sejarah yang mungkin secara sejarah dll hanya ada di daerah Yogyakarta, mana ada di Jakarta yang seperti ini, apalagi di Jepang.



Monumen Jogja Kembali (Monjali)

Skip cerita, karena tidak ada proses yang menarik dari perjalanan Ratu Boko - makan siang yang kurang etnik (steak) karena kami sudah kelaparan jadi makan apa yang kebetulan lewat saja.

Monumen Jogja Kembali

Kami melanjutkan perjalanan ke Monumen Jogja Kembali yang berada di Ringroad. Untuk diketahui, lokasi Monjali ini satu garis lurus dengan keraton, Gunung Merapi, dan Pantai Selatan dalam satu titik imajiner. Bangunan Monjali berbentuk kerucut seperti piramida, di dalamnya ada museum, perpustakaan, ruang diorama dan ruang serbaguna.



Begitu masuk di lantai satu, tempat ini terdapat museum yang singkatnya menceritakan zaman pra-kemerdekaan, kemerdekaan hingga dicabutnya kekuasaan Belanda di Yogyakarta yang pada saat itu masih zaman agresi militer. Diceritakan juga kisah hidup perjuangan Jendral Sudirman dalam museum ini. Semua itu disajikan dalam barang-barang asli ataupun replika, seperti senjata, tandu dan kursi Jendral Sudirman, naskah Proklamasi, alat ketik, dan bukti-bukti sejarah yang sangat menarik untuk mengenal sejarah Indonesia. Semua itu di sediakan di lantai satu.



Kemudian, (saya tidak suka dengan zoning sirkulasinya, jadi harus keluar dari gedung, kemudian muterin komplek gedung dari sisi samping, baru naik tangga dari luar, namun ternyata gedung yang sudah berumur ini mempunyai lift yang tentunya cocok untuk pengguna disabilitas atau anak-anak walau harus menghubungi petugasnya dahulu). Dan juga toiletnya baru renovasi sehingga masih terasa baru.


Di lantai dua, ada diorama kisah-kisah perjuangan para pahlawan yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang dipadu dengan suara-suara percakapan sehingga diorama tersebut terkesan hidup. (Namun, diorama ini dibuka tahun 1989, jadi jangan harap modern dengan mengandalkan teknologi, ini hanya seadanya).

Saya sebenarnya cukup terkesan, namun interior ruangan agak gelap, dan kaca diorama yang agak cembung membuat mata saya puyeng.





Denah ruang diorama ini searah jarum jam karena gedungnya bundar, jadi arah masuk dan arah keluar dari tempat yang berbeda, namun titik ketemu pintunya sama. (masuk dari pintu kiri, keluar dari pintu kanan). Setelah keluar dari ruang diorama, kami naik tangga lagi ke lantai tiga dengan sekuat tenaga, ternyata di sini ada ruang seperti tempat merenungkan para pahlawan, dengan bendera dan ukiran tangan yang sedang memegang bambu runcing untuk berjuang. Interior ruangan menggunakan marmer (zaman orde baru memang beda kualitas gedungnya).

 
Pokoknya jika ingin tahu salah satu sejarah kemerdekaan Indonesia, mesti ke Monjali. Harga masuknya juga murah.Museum tutup sampai jam 4 sore. Akhirnya lengkap sudah perjalanan dari tempat zaman prasejarah hingga ke zaman kemerdekaan. Setelah puas berkeliling Monjali, kemudian objek wisata terakhir yang kami kunjungi di hari itu adalah :


Pos Polisi Monjali

Seperti yang sudah ku katakan di atas, proses liburan memang lebih seru walau ada enak dan tidak enaknya. Kami merasa tidak menerobos lampu merah, tetapi entah kenapa kami dikejar polisi, polisi bilang kita melanggar padahal motor kita pas lewat sedang lampu hijau, SIM Icha di ambil sama pak pol dan disuruh ketemu dia di Pos Polisi Monjali, dan bukannya pelan-pelan pak pol malah ngebut padahal kami bukan orang sana. Mana pos polisi nya jauh banget.Setelah negosiasi, akhirnya kami memilih untuk bayar tilang (tidak bisa damai) Rp100.000,- daripada ke pengadilan, sudah repot, bukan orang situ, motor sewaan pula.


Jujur, ini merupakan pengalaman pertama saya liburan ke pos polisi karena kena tilang hahaha. Maka dari itu, patuhi rambu lalu lintas (dengan seksama dan super waspada terutama dengan lampu dan zebra cross, apalagi di depan pos polisi). Liburan itu memang lebih seru diprosesnya, dibanding di tempatnya. No pic = hoax, maka saya sertakan buktinya :




Singkat cerita, kami pulang ke Klaten langsung karena sudah letih dan males berurusan lagi dengan polisi.

Kisah di Yogyakarta (III) - Menelaah Yogyakarta Berdasarkan Local Content Mainstream


Tanggal 16 Agustus 2017, saya, Icha dan ibunya (tante saya) berangkat ke Yogyakarta untuk menjemput orang tua ku yang terbang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk berlibur, agenda nya saya akan berlibur dengan orang tua dan tante di Yogyakarta, Icha ada agenda sendiri dengan temennya. Skip cerita (sebenarnya cerita gw ini kepanjangan, udah out of track dari niat, tapi gapapa gw lanjutin, tapi tidak menceritakan prosesnya). Kami tiba dibeberapa tempat yang sudah mainstream, tapi terdapat local contentnya :

  1. Malioboro

Siapa yang tak kenal dengan Jalan Malioboro yang legendaris ini, di sini terdapat banyak kaki lima yang menjajakan oleh-oleh. Sayangnya, para oleh-oleh ini harus ditawar, karena di sini pada getok harga mahal banget apalagi wisatawan. Serta bapak pengemudi andong dan becak yang menawarkan ke bakpia atau Dagadu.

Tapi di situlah letak local content dan seni dari liburannya, tawar menawar dan dikejar-kejar pengemudi becak atau andong. Apakah ada hal seperti itu di Singapura? Kuala Lumpur? Jelas tidak ada, yang ada dikejar sama taksi tidak jelas kalau di sana bukan andong. Satu lagi, tempat ini baru dilebarkan pedestriannya, jadi lebih enak buat jalan kaki, tapi sayang hal tersebut dikacaukan dengan masih banyaknya yang buang sampah sembarangan, dan yang lebih keren adalah orang yang buang sampah di sebelahnya tempat sampah, bahkan di atas tutup tempat sampah ! Sungguh orang seperti itu bukan manusia menurut gw.Lagi-lagi, itu juga local content loh. Apakah ada di Paris? Tokyo? Osaka? Kalaupun ada, itu hanya orang mabok. Semoga ada tindakan tegas dengan orang buang sampah sembarangan, apalagi yang buang sampah sembarangan di samping tempat sampah.

Di sepanjang Malioboro terdapat tempat keran air minum seperti di bandara di luar negeri dan beberapa bandara domestik, namun kalau Anda beruntung, moga-moga tidak ada puntung rokok atau ludah di kerannya. Sebenarnya Malioboro ini sudah bagus, sayang tidak dibarengi dengan penggunanya yang sebagian kecil tidak tau aturan. Namun, Malioboro yang sekarang sudah jauh jauh lebih baik dibanding dulu.



2. Hamzah Batik (Mirota)

Local content Yogyakarta yang super kental bisa di dapat di Mirota Batik (Hamzah Batik sekarang) Jalan Margo Mulyo, satu jalan lurus dengan Malioboro. Sesuai untuk Anda yang mencari oleh-oleh lokal khas Yogya, seperti batik, obat-obatan, makanan, cinderamata, tas, souvenir, dll. Harga bagus dan tanpa tawar menawar. Tokonya juga bau wewangian seperti ratus atau dupa, mana ada toko seperti ini di Jakarta, Bangkok, Jeddah?


Di sini juga ada House of Raminten, seperti restoran yang suasananya lokal sekali, ada loro blonyo yang merupakan patung sepasang pria-wanita khas Jawa, gamelan, dan suasana yang mengesankan dan menerangkan bahwa Anda sedang berada di Jawa, bukan di Jepang atau Tiongkok. Jangan kaget jika di sini nama minumannya agak nyeleneh bahkan pelayannya kadang kalau pagi berpakaian nyeleneh.


Oh iya, kalau tidak salah setiap akhir pekan ada Cabaret/pertunjukkan drama Raminten. Sebenarnya ini cabang Raminten yang di pojokan dekat stadion, tapi lebih enak di sini, karena kalau di pusatnya ramai sekali, tempatnya juga sempit walau uniknya ada kandang sapi.


Kami nongkrong di sini bersama keluarga ku yang telah datang dari Jakarta (bapak dan ibu), tanteku, Icha dan perkenalan pertama dengan salah seorang kawan naik gunungnya, yaitu Ka Santi.



Hamzah Batik dan House of Raminten



Kisah di Yogyakarta (IV) - Menelaah Yogyakarta Berdasarkan Alam


Tanggal 17 Agustus 2017, ketika hari kemerdekaan tiba. Secara tidak sengaja, saya diajak oleh temen-temen Icha untuk berlibur, awalnya mereka mau liburan ke Gunung Kidul cuma mereka bangunnya kesiangan, akhirnya tujuan berubah tujuan ke Hutan Pinus Imogiri dan lumayan saya bisa jadi fotografer mereka, itung-itung diajak wisata biar jadi tim hura-hura. Sudah lama juga tidak ketemu sama si Dipek.


Begini, sebenarnya saya lebih menikmati proses perjalanan naik motor ke Imogiri ini, kali ini saya dibonceng oleh Saudari Dihek, seorang wanita tangguh asal Lampung yang bekerja di Rumah Sakit terkemuka di Indonesia (tapi tidak di Yogya), dan 2019 ini dia sepertinya mengundurkan diri ke tempat yang lebih baik di pulaunya.


Perjalanan ini saya nikmati dengan sebaik-baiknya, jujur saya baru kali ini naik motor naik turun bukit untuk menuju ke hutan pinus (ya memang gw ndeso banget tentang beginian) -_-. Dan perjalanan yang sangat menarik untuk diabadikan, karena pemandangannya bagus dan jalannya menantang, mirip seperti Jalan Raya Senggigi arah Malimbu. Ingat, pemandangan tropis seperti ini tidak ada di Singapura atau Jepang hihihi, di sini lah letak lokal kontennya.


Ilustrasi

Pemberhentian pertama, kami berhenti di sebuah tempat wisata yang tidak direncanakan sama sekali, tiba-tiba kami mampir begitu saja. Namanya Watu Lawang, tempatnya oke, terdapat objek-objek foto yang menarik tentang alam nan indah, namun sayang ponsel ku jatuh dari tebing 3,5 meter, untung cuma layarnya saja yang beret dikit (tidak pakai anti-gores pulak!). Saya suka dengan pemandangan alam di sini, lembah yang bagus untuk dipandang, tapi kurang bagus buat objek foto.


Watu Lawang

Kemudian, kami lanjut ke hutan pinus, pertamanya kami menemukan hutan pinus yang sudah sangat ramai dengan orang yang penganut kekinian, pada pacaran dan selfie di sayap-sayapan ala Victoria’s Secret. Saya sangat tidak suka yang terlalu kekinian serta sangat turistik dan pasaran. Karena kami malas, akhirnya kami jalan terus hingga menemukan hutan pinus yang tidak berpenghuni, masih sepi dan alami, serta masih ‘perawan’, benar-benar tidak ada atribut wisata atau embel-embel kekinian. Pemandangannya masih rindang dan asri sekali, belum ada jejak kerusakan karena manusia.


Saya membantu mereka (Icha dan temen-temennya) untuk membuat video tentang kemerdekaan dan mannequin chellange tapi lagunya diganti ‘eta terangkanlah’. Saya juga merekam, mengarahkan kamera, jadi sutradara dalam film pendek yang idenya benar-benar mendadak.Demi apapun, seru sekali wisata alam seperti ini. Tidak ada hutan pinus seperti ini di negara tetangga, ini lah alam kita, local content khas Imogiri.



Membuatkan Film


MR.DOOSSS terbentuk

Sebenarnya, setelah dari hutan pinus, kita makan di angkringan dan mengedit video, namun itu dulu yang bisa saya ceritakan tentang konten lokal, proses liburan (pra-liburan), dan liburannya itu sendiri.

CATATAN 2019 : Di Hutan Pinus, dibentuklah sebuah kelompok wanita petualang bernama MR.DOOSSS yang merupakan inisial dari nama-nama temen-temennya Icha, dari sebelumnya namanya DOOS namun karena ada penambahan personil jadi akronimnya pun bertambah huruf. Perkenalkan, para anggota wanita petualang tersebut namanya adalah Melly, Dipek, Odhonk, Onyet, Onyet Diyah, Simbok, Santi, Sisil.


Jadi, saya kehilangan pacar, namun terganti oleh kenangan yang manis di Yogya, jalan-jalan ke tempat baru dibonceng motor, ditilang, ke Yogyakarta dengan keluarga (walau sudah sering), bertemu teman-teman baru dan dari latar belakang wanita petualangan, indah, indah, dan indah. Yogyakarta kamu selalu istimewa.

Bonus : Konten Lokal Dari Tempat Lain


Selain tempat di atas, saya juga sudah mengunjungi beberapa tempat lain di Yogyakarta yang bisa dieksplorasi hal-hal yang berkaitan dengan konten lokal. Salah satunya adalah hotel Grand Mercure, Yogyakarta, yang menerapkan tema ‘Borobudur’ di setiap detail interior ruangannya, walau pengemasannya tidak terlalu WOW, tapi sangat menarik karena pada saat ini semakin jarang bangunan yang menerapkan prinsip konten lokal daerah tersebut.



Ketika saya di Yogyakarta, saya senang makan di restoran yang bernama Sendang Ayu di dekat Prambanan, suasananya bagus, tropis, serta makanan yang disajikan adalah makanan Indonesia, menurut saya, local content nya benar-benar terasa, karena di Jepang mungkin tidak ada suasana makan di pinggir kolam ikan dengan suasana masih asri. (Kalau di Indonesia mah banyak).Yang membedakan adalah, kalau mau ke restoran dari parkiran harus pakai getek yang di tarik dengan tenaga manusia, seru sekali.



Ingat, liburan yang baik dan seru itu tidak harus mewah dan mahal, tidak juga mesti ke luar kota apalagi luar negeri , itu semua tergantung dengan kebutuhan, maksud dan tujuan liburan dengan baik,
dolan.plesiran

Akhir kata, Liburan itu sebenarnya menikmati proses misalnya perjalanan menuju objek wisata, kisah-kisah selama di tujuan namun dari sisi lain. Serta pilih tujuan yang berhubungan dengan local content, termasuk ciri manusia, budaya, tempat, arsitektur nya, di manapun di dunia. Seperti quote di atas (asli saya buat sendiri tuh), dan liburan juga tak harus menginap di hotel yang mewah atau pesawat kelas satu, toh misalnya saya naik motor pun lebih seru dan menarik dibanding pakai mobil, tapi itu semua kembali lagi ke tujuan dan kebutuhan, kalau orangnya ramai dan ada orang sepuh ya enaknya pakai mobil.


Perjalanan Agustus ini awalnya saya menginap di rumah nenek, karena liburan saya tujuannya untuk mengunjungi nenek, dan saudara, jadi saya tidak perlu hotel. Besoknya, saya dengan orang tua menginap di hotel yang murah di Yogyakarta, yang penting bersih, nyaman, dan dekat kota karena tujuan kita adalah bepergian seharian sehingga rugi hotel mahal-mahal, karena berangkat pagi pulang larut malam.


Kalaupun ada menginap di hotel bagus, karena saat itu tujuannya adalah family gathering ,yang membutuhkan hotel yang besar dan bagus, namun sesuai budget. Intinya semua itu tergantung maksud dan tujuan dari liburan yang bagaimana. ------Saya hanya membagikan kisah saya tentang local content dan proses liburan, serta liburannya itu sendiri. Tidak di sponsori atau endorse oleh pihak manapun.


Sumber kamera atau gambar : Saya pribadi, dengan beberapa sumber lain dari Icha , Santi, Rini.

Terima kasih telah membaca kisah saya !

Komentar