[Unexpected Journey I] - Candi Sambisari dan Bukit Bintang Yogyakarta (3)


18 Juli 2019


Budhonk, guide lokal yang sudah berpengalaman di Yogyakarta, mengajak saya untuk melihat Candi Sambisari, candi yang letaknya di bawah permukaan tanah dan ditemukan pun dulu karena tertimbun tanah. Sebelumnya saya diantar untuk pindah penginapan dan taruh barang, baru berangkat kemari dari Condongcatur.


Akhirnya 20 menit perjalanan, kami tiba di Candi ini dan konyolnya kami langsung masuk begitu saja karena bapaknya yang jaga loket sedang tidak ada, walaupun pulangnya saya tetap membeli tiket karena kami bukan turis nakal, kejujuran itu sangat penting.


Menurut saya tidak terlalu besar, namun untuk sekadar berkeliling area candi lumayan melelahkan jika membawa orang tua karena terdapat tangga, namun kalau mau foto dari atas pun juga pemandangannya masih oke. Menurut saya, candi ini lebih mirip Candi Ijo dari bentuk dan model arsitektur candinya karena sama-sama candi Hindu. Kami pun berkeliling halaman candi yang lumayan besar juga.

Candi Sambisari


Kami pun mencoba ke bawah, ternyata kali itu kunjungan cukup ramai padahal bukan hari libur sehingga kami harus bergantian fotonya, terlepas dari itu peninggalan kuno dan bersejarah begini sayang jika untuk dilewatkan.

Sedikit kisah dari Candi Sambisari yang disadur dari Wikipedia karena saya kehilangan foto tentang sejarah dan informasi Candi Sambisari yang saya foto sendiri di sana :

Penemuan Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani di Desa Sambisari dan dipugar pada tahun 1986 oleh Dinas Purbakala. Nama desa ini kemudian diabadikan menjadi nama candi tersebut. Posisi Candi Sambisari terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari Gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad ke-11 (kemungkinan tahun 1006). Hal ini terlihat dari banyaknya batu material volkanik di sekitar candi.
Dengan dikelilingi oleh pagar batu dengan ukuran 50 m x 48 m, kompleks ini mempunyai candi utama didampingi oleh tiga candi perwara (pendamping). Pada bagian luar dinding bangunan utama terdapat relung yang berisi patung Durga Mahisasuramardini (di sebelah utara), patung Ganesha (sebelah timur), patung Agastya (sebelah selatan), dan di sebelah barat terdapat dua patung dewa penjaga pintu: Mahakala dan Nandiswara. Di dalam candi utama terdapat lingga dan yoni dengan ukuran cukup besar. Pada saat penggalian ditemukan berbagai benda lainnya di antaranya adalah beberapa tembikar, perhiasan, cermin logam, serta prasasti.Penemuan Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani di Desa Sambisari dan dipugar pada tahun 1986 oleh Dinas Purbakala. Nama desa ini kemudian diabadikan menjadi nama candi tersebut. Posisi Candi Sambisari terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari Gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad ke-11 (kemungkinan tahun 1006). Hal ini terlihat dari banyaknya batu material volkanik di sekitar candi.

Pas kami hendak balik ke parkiran, ternyata ada bus datang yang ternyata rombongan orang tua dari Korea, kelihatan dari logat dan bahasanya, entah ya orang-orang Asia Timur baik Jepang atau Korea senang sekali ke Yogyakarta dan sekitarnya. Dan yang lebih aneh, kok bisa ada turis asing nyasar ke candi yang tidak seberapa terkenal jika dibandingkan dengan Prambanan.


Dari sana, kami pun langsung cus ke daerah Bukit Bintang, bukan Bukit Bintang di KL yang ada mal Pavillion ya, tetapi di daerah Gunung Kidul (dekat tanah orang tua ku di Pathuk). Dari Candi Sambisari, kamipun melaju dengan motor sepuh Budhonk dari menuju Gunung Kidul dan seperti biasa, Budhonk sudah janjian dengan Riay di tempat yang sudah ditentukan, setelah bertemu dengan Riay kami tancap gas menuju Bukit Bintang dengan singgah di sebuah tempat makan yang saya lupa namanya (penyakit saya kambuh jikalau diantar dengan ‘guide’ seperti ini, kurang memperhatikan tempat dan jalan, berbeda jika saya mengatur itinerary sendiri).

Namun, Anda bisa cari sendiri lokasi Bukit Bintang di Google Maps dan saya rasa lokasinya bisa ditemukan dengan mudah. Sebenarnya di area ini juga ada atraksi baru yang lebih terkenal di internet (nama tempatnya seperti nada ketawa), namun masuknya mesti bayar walaupun bangunan memang lebih bagus dan hits serta ada label instagrammable, yang berujung pada sangat ramainya tempat tersebut (latah). Tapi saya pribadi tidak suka ke tempat yang seperti itu apalagi kalau ramai-ramai seperti itu, saran saya mending cari restoran pinggir bukit yang tidak terkenal, karena sepi jadi lebih nyaman dalam mengobrol.


Walau bangunan restoran terlihat kecil dari luar, namun restoran itu mempunyai lantai bertingkat-tingkat ke bawah, yang uniknya adalah ketika turun tangga kami harus melewati dapur dan kandang ayam, namun tempatnya tidaklah seburuk yang dibayangkan, malah pemandangannya bagus karena langsung menghadap ke hamparan luas terutama kearah Kota Yogyakarta dan Sleman, dan puncaknya kalau sedang senja maka pemandangannya menjadi sangat indah, dan kalau yang mengabadikan pintar pasti bisa mendapatkan hasil foto yang indah.


Menu di sini tidak ada harga, tetapi ketika kami bayar harganya masih masuk akal di kantong, saya memesan kentang goreng, dengan minuman tradisional wedang jahe karena badan masih terasa lelah dikarenakan saya baru perjalanan jauh beberapa hari yang lalu. Kawan-kawan saya memesan pisang coklat keju dan beberapa cemilan lain, di sini kami mengobrol banyak hal terutama dengan Mbak Riay.


Menurut saya, pemandangan di sini memang benar-benar memukau dan benar-benar indah kalau cuaca sedang baik serta harganya relatif murah dan cocok dinikmati dengan kawan-kawan. Jadi tidak perlu ke restoran besar seperti Abhayagiri di daerah Prambanan, walaupun bagus tetapi harganya jauh lebih mahal daripada di sini yaiyalah memang fine dining, walaupun saya pernah ke sana pas ekskursi / field trip.



Bukit Bintang

Ketika sudah puas nongkrong di sini, kami pun harus cabut karena hari sudah mulai malam serta Riay harus belanja harian (kewajiban), sedangkan kami berdua langsung balik ke arah Condongcatur dan menyempatkan diri untuk makan di Warmindo sebelum pulang ke rumah.

Pulangnya kami makan lalapan dekat rumah Budhonk, baru diantar pulang ke penginapan. Bisa dibilang momen ini adalah momen yang paling spesial karena senja nya bagus.

Komentar