Prolog
Si bos alias abangku saat ini mempunyai aktivitas baru dari diversifikasi usaha yang biasa dia tekuni, yaitu menjadi produser (bersama rekannya) sekaligus menjadi artis dari film yang dia tangani, dalam kesempatan ini dia mengurus sebuah proyek tentang lingkungan dan dia diharuskan untuk tampil dalam sebuah peran di film ini, jika kemarin berlatar belakang di Pulau Peucang, Banten, maka kali ini berlatar belakang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kabar baiknya kami tidak naik kapal yang memabukkan seperti di Peutjang, tetapi perjalanan ini tidak kalah menariknya.
Bagaimana kisahnya?
Kami memulai perjalanan dengan melewati tol Jagorawi, dan mencoba tol baru Bocimi alias Bogor Ciawi Sukabumi yang jalannya tidak terlalu mulis hingga ujung tol (pada saat itu masih sampai Cigombong, dan saat ini ditulis Januari 2022 juga masih sama), dan celakanya begitu keluar tol kami disambut kemacetan yang mantap karena bertepatan dengan akhir pekan dan bubaran truk yang keluar dari pabrik.
Setelah mengikuti peta, kami diarahkan ke jalan yang menanjak yang mana itu sudah tidak ada pom bensin dan restoran, akhirnya kami singgah dulu di rumah makan Padang untuk makan siang baru lanjut lagi, hingga ke atas dan jalannya kecil tetapi masih bisa dilewati dengan baik hingga parkir di depan gerbang Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk menunggu jemputan, sambil menunggu jemputan kami iseng untuk berjalan-jalan di daerah sana dan menemukan kamar mandi yang bersih untuk buang air seni, usut punya usut ternyata di dekat gerbang ada area perkemahan yang bisa disewa serta resor kecil, menarik juga.
Setelah bertengger 20 menit di sana, kami dikabarkan kalau kami salah posisi dan mau tidak mau kami balik ke mobil dan turun lagi ke bawah dan memotong jalan tengah dengan mengikuti peta yang mana justru malah tersasar hingga masuk pemukiman warga dengan jalan yang muat hanya satu mobil, benar-benar tidak karuan kalau diceritakan.
Akhirnya kami bisa menemukan jalan besar menuju ke tempat janjian yang sudah ditentukan, itupun jalannya berkelok-kelok tetapi dalam taraf yang oke karena jalan aspal dan tidak terlalu curam, hanya saja rasanya jauh dan singkat cerita kami tiba di pos pemantauan dan bertemu dengan orang yang akan menjemput dan mengawal kami menuju lokasi, dari sana kami langsung cus mengikuti orang ini.
Dari yang jalannya bagus dan lebar, mulai mengecil tetapi masih aspal dengan sekitarannya sudah tidak ada toko tetapi rumah warga, lama kelamaan jalannya sudah tidak ada aspal tapi beton yang sudah mulai terkupas, sampai pada akhirnya sekitarnya sudah tidak ada bangunan namun hanya sawah dan kebun saja dan itu sudah mulai menantang karena kiri kanan tidak ada pembatas dan penerangan, lama kelamaan beton itu sudah berubah menjadi jalan batu.
Dan sampailah pada perjalanan yang utama, karena jalan yang ditempuh ini memang benar-benar offroad dengan jalan penuh dengan bebatuan dan tidak bisa berjalan dengan kencang, untungnya mobil abangku memang cocok untuk menempuh medan seperti itu apalagi bannya sudah diganti yang besar, jadi bisa jalan agak kencang walaupun terguncang-guncang. Selain itu jalan ini benar-benar melewati tengah hutan belantara, tanpa lampu dan hanya muat untuk satu mobil dan jika ada mobil dari arah berlawanan maka salah satu harus mengalah dan berhenti di pengkolan / belokan.
Setelah mengarungi hutan dengan jalan berbatuan selama kurang lebih satu jam, kami bisa melewati hutan dan langsung disambut dengan hamparan kebun teh yang luas walaupun jalannya masih berbatuan bahkan kali ini lebih parah, karena jika meleng sedikit sudah pasti mobil akan nyemplung ke jurang kebun teh.
Dari kebun teh, mobil kami di arahkan ke turunan yang curam menuju tempat peristirahatan kami untuk tiga hari ke depan, yaitu sebuah desa kecil dengan rumah-rumah penduduk yang memang biasa difungsikan untuk guest house , para artis dan kru juga menginap di sini, pemandangannya masih alami dan rumahnya pun rata-rata tidak permanen dengan material kayu.
Kami bertemu dengan orang lapangan yang bertugas menjadi asisten abangku di sana yang bernama Egi, setelah berkenalan kami dibawa keliling melihat suasana desa dan memutuskan untuk beristirahat sejenak bersama abangku di rumah tempat menginap artis dan kru sembari menunggu tempat untuk kami tidur nanti sambil beramah-tamah dengan jajaran perusahaan pembuat film, sutradara dan entah siapa lagi sambil menyuguhkan gorengan dan jagung rebus beserta minuman yang langsung ludes karena kami lapar.
Selepas beramah-tamah kami diarahkan ke rumah yang akan kami tiduri dan bisa dibilang rumah yang kami tempati paling bagus di sana, karena ada ruang keluarga beserta televisi (yang tidak ada jangkauan antena), PS, kamar mandi dengan shower dan kloset duduk serta warung (ini yang keren), yang punya masih lumayan muda tetapi terlihat sukses karena motornya motor trail yang lumayan mahal dengan koleksi helm yang tidak kalah mahalnya, selain itu terlihat dari rumahnya yang paling mencolok, usut punya usut si empu merantau dari sekolah ke Bogor dan bekerja di kafe untuk menyambung hidup, inspiratif.
Walaupun 'paling bagus' tetapi kamarnya hanya ada kasur bawah saja dengan kipas angin, walau begitu sudah lumayan banget dibanding rumah yang lain, lagipula rumah dengan tiga kamar ini yang tidur hanya kami berdua beserta empunya, benar-benar privat saja. Malamnya, kami dibawakan makanan oleh Mas Egi dan selepas itu kami berjalan sedikit ke tempat shooting dan abangku langsung take di pos ronda dengan peran menjadi polisi hutan yang lagi menonton tarian yang disuguhkan oleh warga.
Kru |
Untuk sekadar info, film ini merupakan kerjasama antara suatu kementerian dengan rumah produksi yang dikelola oleh abangku dan rekannya yang berlatar di Taman Nasional di Indonesia, jika kemarin berlatar di Ujung Kulon (cerita ada di link ini) maka kali ini berlatar di Halimun Salak, dengan pemain Delisa dari Preman Pensiun, Asep Petir mantan peserta Penghuni Terakhir, dan lainnya.
Selesai shot, kami beristirahat
---
Paginya, kami ingin melihat matahari terbit dari atas bukit dan dengan bantuan Mas Egi serta mobil dari kru akhirnya kita bisa menuju puncak gemilang cahaya dan trekking sedikit ke perbukitan dan sayang cuaca saat itu sedang mendung sehingga mataharinya tidak terlalu kelihatan namun pemandangannya tetap indah, segar sekali. Hanya pas pulangnya mobilnya mogok karena hawa dingin tapi syukurlah karena kita berada di turunan jadi tidak perlu mendorong lagi tinggal dimundurkan lalu meluncur ke belakang dan voila mobilnya nyala sendiri. Tidak kebayang kalau mobilnya rusak karena tidak ada pom bensin dan bengkel, akhirnya kami bisa pulang dengan selamat dan memutuskan untuk sarapan pagi dahulu dan bertemu dengan Pak Asep sambil ngobrol banyak hal sebelum shooting.
Selepas sarapan, kami siap-siap dan naik mobil kru menuju tempat shooting di air terjun Curug Macan Kumbang dan perjalanan kali ini agak menyiksa karena mobil MPV sejuta umat dikendarai di jalan yang berbatu, hanya bisa jalan maksimal 5 KM/jam dan goyangannya asoy geboy tetapi saya salut dengan produsen mobil itu karena mobilnya bisa dikendarai di medan yang seperti itu. Tiba di Cikaniki, kami harus melanjutkan perjalaann dengan jalan kaki trekking ke lembah yang perjalanannya kurang lebih 10 menit dengan medan yang lumayan curam dan baru tiba di Curug.
Air terjunnya masih alami dan bagus, cukup tinggi dengan suasana yang masih berupa hutan belantara dan kalau beruntung kita bisa menemukan hewan liar yang kita tidak temui di perkotaan seperti monyet dan hewan liar lainnya. Proses shooting di sini agak memakan waktu hingga sore bahkan kaki abangku sempat terperosok untungnya tidak apa-apa karena kalau apa-apa gimana mau shooting dan nyetir pulangnya.
Sore hari, kami pulang dengan trekking lagi ke tempat parkir di Cikaniki dengan medan yang lebih menantang karena banyak batu dan jalan yang sudah mulai licin karena mendung, bahkan malamnya hujan deras dan ada kru yang tergelincir hingga kakinya patah tapi syukurlah kondisinya masih kuat. Dan kami menempuh perjalanan di jalan berbatu sambil goyang dombret hingga ke tempat kami, malamnya kami langsung beristirahat.
Paginya, kami bersiap-siap untuk shooting take terakhir di Cikaniki sekalian pulang oleh karena itu kami naik mobil sendiri kesananya bersama Mas Egi, namun di tengah perjalanan kami kena macet total karena semua kendaraan diberhentikan karena ada take pakai drone untuk scene dua anak muda yang naik truk bersama kambing. Lumayan lama hampir 1,5 jam ditahan di jalan yang sempitnya luar biasa itu, baru selanjutnya kami boleh jalan menuju Cikaniki.
Di Cikaniki Research Station, sembari abangku melakukan shot terakhir aku jalan-jalan berkeliling area bangunan yang biasa digunakan untuk singgah dan kantor ini, saya berpikir kenapa bangunannya terlihat bagus sekali arsitekturnya usut punya usut ternyata bantuan Jepang, pantesan. Selesai shot kami berkesempatan untuk berkeliling area Cikaniki bersama polisi hutan beneran dan diberitahu banyak informasi tentang area TN Gunung Halimun Salak ini dan diajak naik ke jembatan gantung sambil melihat pemandangan yang jarang atau tidak mungkin diulang lagi, sungguh berkesan.
Selesai berkeliling, kami makan siang dengan artis dan kru di tengah jalan ngemper, karena kebersamaan itu merupakan hal yang sangat penting, jangan gengsi dengan hidupmu karena abangku yang terlihat super mampu mau makan ngemper ramai-ramai dan tetap sederhana.
Usut punya usut, ternyata abangku harus melakukan scene lagi tetapi karena dia berhalangan maka dilanjutkan di hari lain dan kamipun pamit undur diri untuk pulang yang mana harus melewati jalan berbatu di tengah hutan, dan syukurlah tidak ada masalah sama sekali hingga keluar jalan berbatu, tetapi tetap harus melanjutkan jalan raya yang berkelok dan untung kemampuan nyetir abangku boleh diadu dengan pembalap lain.
Tetap saja lagi-lagi kami disesatkan oleh peta, niat untuk memotong jalan karena macet dengan masuk ke komplek rumah warga hingga lumayan jauh ternyata akses di sana ditutup oleh warga dan mau tidak mau kami balik lagi dan itu makan waktu hingga 20 menit, belum lagi kejebak di Jalan Raya Sukabumi menuju Tol Cigombong dan perjalanan berakhir dengan makan malam di AEON Sentul karena mau beli sepeda.
Usai sudah kisah
Kisah lanjutan, karena ada scene tambahan maka kami balik lagi ke sana, pukul 4 pagi saya dijemput abangku dan menempuh perjalanan dari rumah di daerah UNJ, Jakarta Timur hingga tol Cigombong yang kurang lebih 70 KM dapat ditempuh hanya dalam waktu 30 menit tepat, lalu kami menyusuri Jalan Raya Sukabumi yang sudah macet dan naik menuju jalan Halimun Salak yang berkelok-kelok itu dan singgah ke tukang bubur asli Pasundan untuk mengisi tenaga lalu lanjut lagi dan berhenti di kantor kepala desa untuk menunggu jemputan sambil ngemil ayam goreng.
Jemputan pun datang dan kami mengikuti dari belakang dan syukurlah set kali ini tidak sampai ke jalan berbatu lagi, yaitu di sebuah sawah yang dikelilingi oleh pegunungan dan suasananya masih benar-benar alami, base camp kami terletak di rumah semi permanen yang satu-satunya di tengah sawah, memang fasilitasnya ada listrik tetapi kamar mandinya ada di jamban belakang, sudah gitu kalau mau masuk harus menunduk karena pendek dan jambannya luas, bisa muat ikan, sayur mayur, cucian baju tetapi saya agak bingung ini jamban bisa digunakan untuk warga tersebut BAB apa tidak karena tidak ada lubangnya.
Saya menunggu proses menunggu shooting dari pagi, hingga malam hari yang mana itu sangat melelahkan dan saya SKSD saja mengobrol dengan editor film yang ada di sana sambil bertukar ilmu, ternyata proses pembuatan film ini sangat rumit sehingga kalau kita nonton film kita harus apresiasi mereka yang di balik layar juga. Tapi saya lihat kru ini mukanya teler semua, matanya sayu, dan terlihat lemas, saya sih tidak ambil pusing.
Maka siang dan malam disuguhkan lagi dengan masakan lokal yang dimasak pemilik rumah, masakan desa yang jauh lebih enak dari rumah makan Sunda yang ada di Jakarta, hanya pas malamnya hujan deras dan abangku baru dapat shot, baru selesai kurang lebih jam 10 dan selepas itu kami langsung pulang dengan melewati jalan yang berkelok-kelok lagi, belum kena macetnya di Jalan Raya Sukabumi, sungguh pengalaman yang tak terlupakan.
Pulang dari sana, beberapa hari kemudian saya batuk parah, dan seminggu kemudian saya dikabari kalau semua kru kecuali saya, abangku dan sutradaranya kena COVID-19 dan itu lagi menjelang musim Delta, alamakajan !
Komentar
Posting Komentar