Cerpen : Bandung Dadakan

Sebuah kisah khayalan saya, cerita pendek di kala pandemi.

Prolog

Saya mempunyai teman, sebut saja namanya Ai, kami saling kenal waktu saya berlibur ke tempat teman saya yang bernama Bukon, lalu kami berkenalan di sana, si Ai ini orangnya grapyak dan aktif banget seperti cacing kepanasan serta berisik, suka jalan-jalan juga.

Awal Kisah Bermula

Nah, pada suatu kisah saya sudah lama tidak berkontak dengan dia karena kesibukan, di suatu siang di kala senggang, tiba-tiba Ai menghubungi saya dan menanyakan tentang syarat berangkat dengan Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ) harus menggunakan rapid test atau cukup dengan surat keterangan sehat saja. Kira-kira seperti ini percakapannya.

"Ngomong-ngomong, kalau naik kereta ke Senen bisa pakai surat sehat ngga ya?" tanya Ai, 

"Wah kurang tahu, mungkin bisa, memang kowe berangkat kapan?" jawab saya lagi, lalu dijawab oleh Ai

"Malam ini gua berangkat" , tandasnya

Jeger, kaget saya, Ai ini orangnya memang tidak bisa ditebak kadang sukanya jalan-jalan kemanapun yang dia mau, akhirnya, dengan penuh keniatan, saya pun berangkat ke Stasiun Senen hanya untuk menanyakan perihal apakah surat kesehatan dapat digunakan tidak di Stasiun Senen dan jawabannya adalah bisa, kecuali di Stasiun Gambir wajib rapid test, selesai dari sana saya pun pulang dan mengabarkan ke Ai tentang informasi tersebut, dan akhirnya dia langsung memesan tiket KA "B" untuk malam itu

Namun, saya mendapat telepon

"Oi gua ketinggalan kereta ini gara-gara nunggu dokter terus nanya sana sini bolak balik T- L (nama stasiun) hhhhh" Ai mengeluh

"Hadeh, lah terus gimana", jawab ku dengan keheranan

"Tau nih bingung, gua masih sama adek gua sih (lalu terdengar suara kentut), eh maaf kelepasan, kalo gua pulang kan juga gimana enggak enak juga" 

"Jiah jorok,  yaudah coba cari kereta yang paling malam ke sini" jawab ku dengan ketus.

Dan ternyata tidak ada kereta malam ke Jakarta, adanya ke Bandung, saya sempat berpikir sejenak lalu saya memberikan keputusan sambil setengah memaksa saja daripada Ai rugi sehari, lebih baik mencari alternatif lain dan alhasil dengan segala kenekatan. 

"Udah ambil "K" (nama KA)  yang ke Bandung, daripada rugi sehari di sono"

"Eh gila lu ye, gua kaga ngarti Bandung, gimana ini, gua engga tau jalan sana"

"Udeh gampang, pesen aje dulu", kata sayasambil menutup percakapan.

Akhirnya Ai memesan tiket kereta ke Bandung tersebut, dan malamn yang sama dia langsung berangkat menuju Bandung tepat waktu.

Pergi ke Bandung Modal Nekat

Akhirnya saya jadi ikutan nekat berangkat ke Bandung dan benar-benar mendadak, dengan menggunakan travel shuttle, itupun waktunya mepet dan nyaris terlambat tetapi masih ada toleransi lima menit (aduh), untungnya saya masih bisa berangkat ke Bandung dan singkat cerita saya tiba di Dipatiukur Bandung dan langsung nongkrong di McDonald Dago yang termasyhur itu untuk makan pagi, kebetulan dekat, dan di sana saya ditemani oleh lagu-lagu India dan Hivi lalu kami bertemu dengan Ai, dia datang dari arah Kartika Sari.

Datang-datng beliau ngoceh dan mengeluh tentang mahalnya naik ojol yang ternyata dekat saya, lalu kami dengan gagah berani mencoba berjalan kaki dari sana menuju Ciwalk dengan jarak kira-kira hampir 3 KM menggeret koper, dan kami baru tahu bahwa jalanan di Bandung penuh dengan lika-liku dan jebakan.

Saya kira kalau motong jalan pasti akan jalannya akan tetap jalan besar karena di peta tidak keliatan, ternyata tidak demikian, okelah jalan potong pertama ketemunya adalah ITB, namu jalan potong selanjutnya adalah pemukiman padat penduduk dan kami harus melewati beberapa rumah yang benar-benar padat dan kumuh, dengan anak tangga yang curam untuk mencapai tujuan (karena kontur tanah Bandung adalah berbukit), dengan pengorbanan akhirnya sampai Ciwalk dan itu pun kami tidak puas karena tidak tahu mau ngapain di sana.

Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan kaki lagi ke Paris Van Java dengan jarak kurang lebih 1,5 km dan kami mengira jarak ke Paris Van Java itu melewati jalan besar, ternyata prediksi kami salah lagi, karena selepas jalan besar  kita harus melewati pemukiman padat penduduk lagi, bahkan lebih sempit dan banyak tahi kucing, dan setelah bertanya orang kamipun menemukan jalan ke sana dan harus naik tangga lagi karena letak PVJ lebih tinggi, dan akhirnya kami sampai di PVJ tujuan pertama beli Xin Tu Fang untuk Ai, lalu cari tempat nongkrong yang nyaman di "Kafe Orang-orang" karena si Ai lagi  dikejar deadline sekolahannya

Kami hanya makan sayap ayam Korea (yang ukurannya kecil banget) di sana dan kami nongkrong hampir 4 jam untuk menunggu Ai yang mengerjakan pekerjaannya, sementara saya berkutik dengan ponsel untuk mencari penginapan yang menurut saya murah dan bagus. Setelah perundingan yang alot akhirnya kami dapat hotel di daerah Asia Afrika, yang mana sangat strategis dengan harga yang murah sekali walaupun begitu tiba di sana, hotelnya suram, kecil dan tidak terawat karena Corona, mana  awalnya kami dapat kamar bau rokok lalu dikasih yang paling pojok dekat tangga darurat. Seram,  tapi ya saya nikmati, walau kamar mandinya juga ala Jepang tetapi ventilasinya payah. 

Kemudian, kami jalan malam dari hotel, ke Alun-alun hingga Braga menikmati malam ke "Legian nya Bandung", karena tidak menemukan makanan yang cocok  maka kami mondar-mandir dan makan nasi goreng di dekat gedung Merdeka, lalu malamnya kami nongkrong di Alun-alun Bandung sampai tutup.

--

Ternyata drama belum usai, kami mencoba berjalan-jalan pagi dari depan ke belakang alun-alun hingga melihat bus Bandros yang lagi ngetem mencari penumpang, awalnya mau naik 

"Naik yuk, coba keliling pake gituan", kata Ai yang terlihat kepengen,

"Tar dulu, laper nih, mending nanti aja abis cari sarapan, liat aja kita selesai juga itu bus belom beranjak" saut aku

Akhirnya kami tidak jadi naik Bandros dan melanjutkan perjalanan ke daerah deket Pasar Baru untuk mencari makan pagi, namun kami tidak menemukannya. Kemudian kami jalan kaki hingga  Chinatown menemukan kupat sayur di dalam gang (setelah bertanya kepada orang), penampilannya menarik namun yang jualan tidak memakai masker, tapi alhamdulillah kami tidak terserang penyakit yang saya khawatirkan nantinya 

"Gua tahu nih pasti agak gimana gitu, soalnya dari awal ngeliatinnya gitu banget sama abangnya" samber Ai

"Iye memang" jawab ku dengan singkat

Saat lewat depan Alun-alun, saya melihat ada bus Bandros (sightseeing bus) masih bertengger ngetem menunggu penumpang dan itu lama sekali, kemudian saya ngide untuk ikutan naik Bus Bandros untuk keliling kota Bandung walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan karena banyak jalan harus memutar karena adanya Adaptasi Kebiasaan Baru jadi jalan banyak yang ditutup dan melewati rute yang tidak ada unsur historis.

Ilustrasi Bus Bandros

Kemudian kami berputar-putar melewati jalan-jalan kota Bandung dan dijelaskan bahwa nama jalan-jalan di Bandung ini ada nama gunung, nama daerah di Indonesia, dan sungai. Dilewati juga rumah Milea dan sekolah Dilan seklebat, guide yang menjelaskan adalah bapak-bapak setengah baya.Tujuan pertama kami adalah ke museum geologi, kami jalan-jalan di sana agak lama dan tidak tahu bahwa Gedung Sate ada di dekat sana, malah lama di taman, ternyata bus itu hanya sekali stop dan tidak turun di Gedung Sate, alhasil kami tidak ada foto di Gedung Sate yang ikonik itu, sangat disayangkan.

Museum Geologi dan Gedung Sate


Setelah menempuh beberapa perjalanan kota Bandung yang macet itu, akhirnya kita balik lagi ke titik awal Bandros di alun-alun, kemudian balik ke hotel sebentar lalu saya mandi dan melanjutkan Jumatan di Masjid Raya Bandung. Pulang dari masjid saya masih sangat bingung dengan perjalanan apa yang akan saya tempuh bersama Ai menuju Jakarta dan akhirnya dengan pertimbangan yang matang kami pun memilih travel J pada jam 13.30 di Dipatiukur, tujuan Blora di dekat Stasiun Sudirman. 

Teorinya adalah kami berjalan sedikit untuk mencari transportasi online ke persimpangan terdekat, tetapi realitanya kami malah kebablasan sampai mal Kings yang jaraknya lumayan jauh dari hotel, dan lucunya masih sempat beli MCD dulu untuk makan siang di travel, celakanya saya salah membaca jam keberangkatan yang diperparah dengan jalan di Bandung yang satu arah, makin diperlengkap dengan jalan ditutup akibat AKP, alhasil setelah saya naik transportasi daring bukannya ngebut tetapi selama 10 menit perjalanan kami hanya muter-muter di sekitar sana alias  tidak bergerak. Pihak travel pun menghubungi saya.

"Halo, pak, hanya mengabarkan posisi bapak di mana? Sebentar lagi mobilnya sudah mau berangkat" kata pihak travel

"Tunggu, kasih saya 5 menit, saya kejebak karena penutupan jalan, kalau lewat dari itu tinggal saja", jawab saya.

"OK", kata pihak travel 

Ternyata saya kelewatan hingga 10 menit dan alhasil kami ditinggal oleh travel tersebut, tetapi saya tidak kehilangan akal, saya telepon pihak travel 

"Halo JH, saya hendak bertanya, apakah saya bisa untuk mencegat mobilnya di Pasteur (kebetulan travel di Bandung punya beberapa titik) karena saya telat efek penutupan jalan" tanya saya 

"Bisa pak, bapak langsung saja kesana", tandasnya.

Syukurlah, selepas telepin langsung saya ganti tujuan yang awalnya ke Dipatiukur menuju Pasteur di aplikasi daring tersebut dan syukurlah kami tiba di Pasteur masih tepat waktu karena mobil kejebak macet di Dipatiukur, entah ketika jalan-jalan sama Ai pasti ada drama tentang mengejar waktu alias nyaris telat hahaha.

Singkat cerita, kami naik mobil travel tersebut dan beberapa jam kemudian kami tiba di Jakarta (Blora) dan saya masih menemani dia ke stasiun KRL (Ai sempat dicegat oleh polsuska karena maskernya kurang berlapis), selepas itu saya untapke Ai hingga ke stasiun teramai di Jakarta yaitu Tanah Abang, lalu dia melanjutkan perjalanan ke tempat kakaknya yang ternyata sangat jauh di "pelosok dunia", 

Perjalanan pun selesai dan kami berpisah di sana, saya pun pulang ke rumah karena minggu depan saya mau merayakan ulang tahun keponakan ku di Bandung. 

Sungguh seru 'kan?


Komentar