Cerpen : Berplesir Ria di Jakarta

Suatu kisah cerita pendek lagi, dari hasil khayalan saya selama isolasi mandiri di rumah efek terkena penyakit yang lagi ngetren saat ini. 

---

Kisah ini Berawal...

Pada bulan Desember, saya pergi ke Yogyakarta untuk 'melarikan diri' dari kepenatan, dan ketemu relasi di sana serta membuat video ulang tahun untuk teman saya, kira-kira dua hari di sana, sayapun pulang ke Jakarta melalui Bandara Internasional Yogyakarta (YIA), dengan penerbangan si merah yang didapat dengan harga yang sangat miring di kala pandemi.

Ilustrasi Bandara Internasional Yogyakarta

Tiba di Bandara Soekarno Hatta, saya duduk sebentar di emperan Terminal 2 karena saya malas untuk langsung pulang ke rumah, maka saya berniat untuk menginap untuk sekalian buang poin travel daring yang mau kedaluwarsa, karena pada awalnya bingung mau menginap di mana, saya memutuskan untuk 'get lost' naik KA Bandara (Railink, sekarang KAI Bandara) lalu membiarkan kaki ini melangkah dan ternyata kaki saya menginjakkan kaki ke daerah Grogol yang mana itu harus lanjut dua kali naik KRL, padahal dari bandara saya sudah terlanjur turun di Stasiun BNI City, dan masih berpikir kenapa harus ke Grogol? 

Agak tidak masuk akal juga sih, kalau tahu awalnya ke Grogol lebih baik saya turun di Duri karena lebih dekat tidak perlu jalan jauh dan gonta ganti KRL, sedangkan rute saya ini dari bandara turun di Stasiun BNI City, lalu jalan kaki 300 meter ke Stasiun Sudirman dengan membawa ransel, lalu naik KRL menuju Duri, turun dan menyeberang peron melalui jembatan, baru lanjut naik KRL ke arah Tangerang tapi turun di Stasiun Grogol.

Sumber : liputan6.com
 
Gambaran Rute (Sumber : Railink)

Dari Stasiun Grogol, saya naik transportasi daring menuju mal tua di pojokan lampu merah, kemudian karena perut sudah keroncongan maka saya memutuskan untuk makan fast-food asal Jepang, dengan paket Crispy Set yang murah, dikarenakan uang saya habis untuk berlibur, dan putusan saya bulat untuk menginap di dekat situ dan kebetulan ada hotel yang cukup unik jika dilihat dari gambar, tanpa tendeng aling-aling saya pesan dan langsung berangkat ke sana menggunakan taksi walau jaraknya tidak begitu jauh, itupun sempet nyasar karena posisi hotelnya ngumpet.

Benar saja, hotel ini sangat unik dengan kolam renang yang tembus pandang, dengan interior yang ekletik dengan penggunaan tas-tas kuno sebagai wall treatment, lukisan dan mural serta konsep yang menurut saya agak industrial, namun beribu sayang pelayanannya agak lama karena yang melayani hanya satu orang dan yang check-in lagi banyak-banyaknya.

Ilustrasi Hotel (Sumber : Kompas Travel)


Dapat kamar di pojokan, benar saja konsepnya unik seperti berada di dalam warehouse, lumayan luas dengan televisi berlayar besar, tempat tidur nyaman, toiletnya mempunyai sistem swing-gate, jadi bisa digunakan untuk menutup shower room saja, atau keseluruhan toilet, jadi tidak akan ada yang berantem rebutan toilet ketika ada yang mandi, selain itu fasilitas lain ada brangkas, washtafel di luar, lemari gantung tanpa tutup, lumayan lah, yang minus adalah pemandangannya menghadap ke tembok hotel lain. 

Keliling hotel, ternyata memang unik, ada sejarah telepon dari masa ke masa, radio, juga sejarah-sejarah benda lain yang dirangkum dalam satu kesatuan, namun sayang beberapa fasilitas umum seperti pusat kebugaran dan kolam renang ditutup karena pandemi dan perawatan. Ketika bersantai, saya ditelepon oleh kawan saya, Ai.

"Oi di mane lu", tanya Ai

"Lagi di Jakarta nih, tapi belom balik, napa? Sini lah kita ngobrol, gua di Grogol nih"

"Wah deket tuh,  yaudah gua ke sana yak" kata Ai

Sore harinya, saya betul-betul dikunjungi oleh Ai, yang datang menggunakan motor pinjaman dan sempat nyasar juga, sebelumnya Ai bisa menembus kemacetan jalan lintas provinsi sampai DKI Jakarta yang begitu pelik dan ramai luar biasa, kemudian kami basa-basi mengobrol singkat di sky lounge di atas gedung hotel ini, yang sebenarnya akses ini dikhususkan untuk tamu hotel, dan tidak disangka ketika naik suasananya bagus sekali, seperti di dalam kapal laut dengan alat perkapalan beneran sebagai elemen interior, dan di atas terdapat outdoor area dengan lampu-lampu yang romantis dengan pemandangan Kota Jakarta yang gelap, toiletnya pun unik karena bentuknya seperti cangkang telur dinosaurus, mungkin pembaca bisa tahu itu hotel apa.

Ilustrasi Skylounge

Karena skylounge tersebut harganya agak mahal dan kami lapar serta Ai ingin soto, kamipun tidak jadi nongkrong di sana terlalu lama dan memutuskan untuk berjalan-jalan singkat (rencananya), pertama berhenti dulu di kolong flyover Tomang untuk membeli jus alpukat, rencananya ingin mencari makan malam di dekat kampus ku di daerah Kemanggisan, namun karena modal kesotoyan saya tanpa Ai tahu, sebenarnya kami nyasar, dan luar biasanya lagi adalah kami benar-benar menembus kota Jakarta melewati jalan protokol sambil menjelaskan gedung atau wilayah kepada Ai, dari Karet, Rasuna, Casablanca, Manggarai, Diponegoro, Salemba, Kramat, Rawasari, hingga Universitas Negeri Jakarta di Rawamangun yang mana itu sudah dekat sekali dengan rumah saya dan rencana makan malam bisa dibilang buyar. 

Akhirnya, kami berfoto di UNJ dan tidak disangka sama sekali kok malah sampai rumah saya, Ai pun melihat dengan jelas wilayah rumah saya dan tak lama dari sana kami pun pergi dan si Ai geblek malah teriak nama saya sekeras-kerasnya, untung orang rumah tidak dengar.  Perjalanan pun lanjut untuk mencari makan malam, Ai ingin makan yang hangat-hangat karena Ai terngiang oleh soto di tempat saudaranya yang belum kesampaian, awalnya kami mau makan di Utara tetapi karena tidak ada pom bensin akhirnya kami bablas ke arah Grogol, mengisi bensin di dekat kantor Taspen, lalu melewati banyak jalan di Jakarta hingga lewat Lintas Bawah Senen yang baru buka waktu itu (ternyata bagus juga), Pejambon, Gambir, berfoto singkat di Masjid Istiqlal yang baru renovasi, kemudian lanjut ke Jalan Medan Merdeka dengan latar belakang Monas dan Istana Negara, Harmoni. Pada awalnya rencana makan berubah menjadi KFC karena Ai ingin winger, namun karena antreannya ramai akhirnya kami makan di Soto Malioboro di emperan Hayam Wuruk, cuma agak ironi karena saya baru saja dari Yogyakarta, saya memesan ayam goreng tetapi rasanya so so saja.

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, saya pun diturunkan di hotel untuk beristirahat, dan besok rencananya bertemu lagi dengan Ai. Hal yang menurut saya benar-benar gila sih, ini sama sekali tidak direncanakan. Gila dah!

Ilustrasi Rute, Berpatokan pada yang Warna Biru

--

Paginya, saya bertemu lagi dengan Ai karena jatah sarapan yang saya dapat ada dua, namun sayang jika hanya saya saja yang menggunakan, kebetulan Ai juga tidak terlalu jauh dari sana lokasinya akhirnya saya mengajak Ai untuk menemani sarapan, pilihan sarapan kali itu tidak terlalu banyak, hanya nasi dengan lauk pauk, egg station, salad dan beberapa roti, cukup terbatas mungkin dikarenakan pandemi. 

Siangnya, saya check out dan Ai masih menemani saya untuk makan siang, rencananya kami akan makan siang ke KFC karena Ai masih menginginkan sayap ayam yang belum kesampaian, namun sayang cuaca waktu itu hujan alhasil saya naik transportasi daring dan Ai pakai mantel nerabas hujan, dan satu hal yang saya kesali adalah hujannya tidak sampai 5 menit ternyata sudah reda, benar-benar memuakkan.

Kami janjian di salah satu mal yang dulu terbesar di Asia Tenggara dan ada ice skating-nya yang umur mal tersebut setua pacar saya hahaha, Ai katanya kebelet pipis dan janjian di salah satu toko roti kopi di sana, dan kamipun bertemu di sana dan lanjut ke KFC, namun bodohnya adalah tas selempang saya yang berisi dokumen lengkap ketinggalan di toko roti tersebut, padahal letaknya dari ujung ke ujung, larilah saya dari lantai 3 ke lantai G dan syukurlah tas saya masih ada di sana, hal ini benar-benar berhasil membuat shock therapy. 

Dari sana, saya mengajak Ai ke Kota Tua, dulu Ai sudah pernah ke sana tetapi Jakarta sedang PSBB Total (waktu itu katanya rem darurat) jadi objek wisata pada tutup. Dari Grogol menuju Kota Tua ditembus dalam waktu yang tidak begitu lama dan kamipun parkir di kantor pos, dan di sana tidak begitu banyak jalan-jalan, hanya berfoto ria di depan Museum Sejarah Jakarta terus balik, tetapi sayang begitu mau melanjutkan perjalanan malah hujan deras, tapi kami tembus dengan membeli mantel Rp10.000 dari abang-abang, dan kamipun melaju menuju Tanah Abang karena Ai ingin lihat salah satu pusat grosir terbesar di Asia Tenggara itu seperti apa, namun sayang sampai sana sudah tutup akhirnya tujuan dialihkan ke Thamrin City, walau begitu tetap saja ada yang dibeli oleh Ai. 

Karena saya masih malas pulang, akhirnya saya masih ingin staycation dekat-dekat situ, awalnya mau di hotel di daerah Kebon Kacang, namun karena hotelnya kecil dan mahal, akhirnya pilihan jatuh pada hotel yang berlokasi di daerah Jalan Jaksa, dan syukurlah poin masih mencukupi dan yang lebih membahagiakan lagi adalah Ai masih mau menemani hingga saya check-in di hotel yang saya inapi tersebut, hotelnya memang tidak begitu besar namun bersih dan nyaman, kamarnya pun luas dan modern dengan sistem kamar mandi sama seperti di hotel yang saya inapi di Grogol tetapi yang ini lebih luas kamar mandinya, saya mendapatkan kamar di lantai paling atas namun koridornya gelap, akhirnya ke bawah lagi untuk minta dinyalakan oleh petugas.

Ilustrasi Hotel di Jalan Jaksa (Sumber : Dafam)

Dan yang gilanya lagi, Ai mau mengantarkan saya untuk pulang ke rumah (mengantarkan barang dan baju kotor), lagi-lagi kami bergila ria muterin Jakarta, bayangkan saja dari Jalan Jaksa ujug-ujug bisa nyasar ke Kemayoran, Wisma Atlet, Sunter termasuk Masjid Ramlee, melewati daerah Kelapa Gading, Pulo Mas, dan menyempatkan makan malam di pecel lele pinggir jalan dekat Tiptop untuk mengisi tenaga, kemudian baru ke rumah saya. Gila sih. 

Dari rumah saya, langsung tancap gas ke Jalan Jaksa dan Ai mau mengantarkan saya lagi padahal waktu sudah larut malam, gila sih, hebat.

Ilustrasi Rute ke-2, 

Ketika saya tiba di hotel, ternyata hotel ini sedang dirundung mati lampu jadi saya tidak bisa naik ke atas, namun yang memilukan adalah ada orang yang mau mengambil pesanan makanannya yang diantar oleh ojek daring tetapi beliau terjebak di dalam lift, kemudian ada orang yang ujug-ujug lari menghampiri lift tersebut (ternyata dia sopir ojek daring atau ojol), sambil mengetuk pintu, dan mencoba membuka pintu lift walau itu bukan hal yang mudah.

"Mbak, di dalem gimana? Gapapa?" tanya si sopir ojol kepada orang tersebut

"Gapapa mas, cuma gelap aja di sini"

"Ya sudah, saya cari sesuatu dulu buat ngganjel, kasihan mbaknya ini di dalem pengap euy" tandas ku.

Saya berinisiatif untuk mengganjal pintu lift dengan beberapa batu yang saya ambil dari pot bunga dekat sana agar orang tersebut tidak pengap (tapi memang dia apes banget sih, lift sudah sampai lobi tapi listriknya sudah keburu mati alhasil pintunya tidak mau kebuka, padahal lift modern itu harusnya ada daya cadangan seperti UPS untuk mengantarkan lift ke lantai terdekat). Satpam pun tidak bisa berbuat apa-apa bahkan kunci lift pun tidak punya, harus mendatangkan teknisi dari jauh dulu, tidak masuk akal. 

Hampir 15 menit menunggu, listrik pun kembali menyala, dan lift pun akhirnya reboot dan hidup walau harus menunggu beberapa menit, alhasil orang tersebut bisa keluar dengan selamat, dan saya naik lift beramai-ramai dengan tamu yang lain karena saya takut listriknya turun, kemudian saya mencoba untuk beristirahat. 

---

Esoknya di akhir pekan, karena kebetulan tempat saya tidak jauh dari tempatnya, Ai mendatangi saya lagi untuk mencari makan pagi bersama dengan menggunakan motornya, ternyata di hari Sabtu sangat sulit untuk mencari makan pagi yang cocok, gilanya kami sudah berputar di Jalan Sabang, Sarinah, Tanah Abang, Kebon Kacang, Gondangdia, Kwitang, dan muter Sabang lagi tidak menemukan yang cocok menurut Ai, karena mau kupat sayur sedangkan mencari kupat sayur agak susah di Jakarta, dan karena waktu sudah siang maka pilihan jatuh di emperan Masjid Cut Meutia di dekat Gondangdia, saya makan bubur ayam dan Ai makan kupat sayur ala Padang. Win-win solution

Namun, saya dapat kabar dari rumah bahwa ada saudara yang meninggal, maka saya mengakhiri kisah saya bergila ria bersama Ai dan mempercepat waktu check-out hotel saya dan bergegas langsung pulang ke rumah untuk melayat di daerah Bogor, usailah 4 hari perjalanan dengan 2 hari perjalanan di Jakarta bersama Ai yang tidak diduga sama sekali.

Sekian cerita pendek dari khayalan saya selama pandemi ini. 

"Tunggulah aku di kota itu, tempat labuhan semua mimpiku, tunggulah aku di Jakarta mu tempat labuhan semua mimpiku"

   

Komentar