Kisah Plesiran : Bandung 09-20 - Ciwidey, Kecebur di Kawah Putih dan Keliling Bandung Singkat

Hari Ke-2 Ciwidey dan Punclut

Hari ini kami berencana untuk berwisata ke tempat yang agak jauh dari Bandung, yakni ke daerah Ciwidey, dan berhubung jarak yang lumayan jauh dan medannya naik turun berkelok-kelok mendaki gunung lewati lembah, maka saya memutuskan untuk menyewa mobil melalui travel daring, dan prosesnya sangat mudah serta harganya relatif terjangkau, saya pesan pukul lima pagi, langsung dikabarkan saat itu juga. 

Pada awalnya saya memesan Mobilio, namun karena mobilnya sedang kurang prima dan medannya sulit, maka mobilnya diganti Grand Avanza tanpa kena biaya tambahan, syukurlah. Pada pukul sepuluh pagi, pengemudi pun datang ke hotel, saya mengurus check-out dan M mengurus motor dengan mengambil motornya di basement lalu diberikan kepada rental di depan, namun ternyata ada sedikit drama yaitu STNK motor si rental jatuh dari tempatnya (tempatnya juga jelek karena resletingnya tidak bisa ditutup), kamipun mencoba mencari dan ternyata ditemukan oleh satpam Novotel jatuh di dekat pos, untungnya ketemu karena kalau tidak ketemu dapat dipastikan saya harus menanggung Rp1.000.000,  mana orang rentalnya juga judes parah

Selepas urusan motor, kamipun berangkat dari hotel menuju Ciwidey melewati jalan tol, dengan pemberhentian pertama adalah Kawah Putih, berhenti di parkiran kamipun melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ontang-anting yang sebenarnya lebih mirip dengan mobil angkot tetapi menghadap satu arah, dan memang memacu adrenalin sekali naik ontang-anting ini karena selain medannya curam juga nyetirnya ngeblong, kencang sekali. Orang yang tidak biasa bisa dipastikan akan mengalami mual karena perutnya terkocok oleh jalan yang berkelok-kelok.

Ontang-anting dengan Medan Jalanan Menuju Kawah Putih


Ini kali pertama saya ke Kawah Putih, dari tempat pemberhentian ontang-anting, kami harus menanjak perbukitan kecil, kemudian menuruni anak tangga yang tidak begitu tinggi tetapi entah mengapa jantung saya berdebar sekali pada saat itu

Gerbang Masuk Kawah Putih


Saya kagum dengan pemandangan di Kawah Putih karena benar-benar alami dan bukan buatan manusia namun alam yang membuat, namun sayangnya saya kurang nyaman dengan banyaknya tukang foto yang menjajakan jasanya tetapi dengan memaksa padahal kami sudah bilang terima kasih, sehingga jalan-jalan di sana menjadi agak kurang nyaman. Kami pun mencari tempat yang terpencil dan tersembunyi dari wisatawan lain karena kami ingin menikmati pemandangan dengan khidmat dan sepi sambil mengobrol juga, akhirnya kami menemukan tempat tersebut walau jauh dari keramaian dan hanya ada dua sejoli laki-laki di atas tapi menurut saya tidak masalah. 


Kawah Putih


Tentunya, saya dan M berfoto ria di tempat tersebut dengan menggunakan ponsel yang di atur dengan timer, tetapi saking asyiknya berfoto saya tidak sadar kalau terlalu mundur dan alhasil nyebur ke kawah putih yang isinya adalah lumpur, untungnya ada M yang menolong saya untuk menarik badan saya terlebih dahulu agar tidak terlalu nyemplung di lumpur, baru sepatu saya yang copot sebelah dan hampir tenggelam diisap lumpur,  alhasil sepatu saya menjadi putih bercampur belerang dan sampai sekarang tidak bisa dihilangkan bekasnya 

‎ ‎

Foto Pasca Nyebur


Selesai dari Kawah Putih, kami punai ontang-anting lagi menerjang hutan belantara menuju parkiran dan sampai bawah saya langsung ke toilet untuk membersihkan dan mencuci sepatu saya sebisanya, dan waktu itu juga turun hujan sehingga agak membuang waktu tetapi kami terabas saja ke mobil karena sudah lapar. Setelah itu kami mencari makan di seberang area Kawah Putih, yaitu sebuah parkiran dengan banyak pelapak warung kecil yang untungnya harganya relatif terjangkau walaupun ironisnya warung-warung tersebut pada tutup karena efek pandemi jadi pelancong yang datang juga sepi dan berimbas pada omset dan pendapatan. 

Di sana juga saya beristirahat sejenak, menikmati dinginnya Ciwidey sambil menyantap ayam goreng dan membeli sandal jepit untuk menggantikan sepatu saya yang babak belur terkena lumpur.  Lalu perjalanan dilanjutkan ke sebuah tempat di dekat Situ Patenggang yaitu sebuah tempat wisata yang kalau tidak salah bernama Ranca Upas (ada kebun teh, glamping, restoran) dengan objek utama adalah restoran yang arsitekturnya berbentuk kapal dan kami menyempatkan diri untuk berfoto di atasnya, lalu kami lanjut turun ke bawah untuk kembali ke mobil, namun celakanya kami salah jalan dan hikmahnya malah menemukan hidden gems dan pemandangannya sangat indah dan alami sekali alias bukan dibuat-buat, karena langsung menghadap ke Situ Patenggang dan lagi-lagi kami foto-foto berfoto ria di sini, bahkan salah satu kawan mengira saya jadi anak hiking padahal mah enggak. 

Jembatan Penghubung dengan Restoran Berbentuk Kapal

‎ ‎
Situ Patenggang, Tempat Rahasia

Selepas foto di sini, kami langsung cus ke parkiran dan naik mobil untuk bergegas ke Bandung karena hari sudah sore dan selama perjalanan ke Bandung, saya disarankan untuk memilih hotel di daerah Setiabudi karena jika menginap di daerah kota banyak jalan yang ditutup kalau malam karena adanya adaptasi Kebiasaan Baru atau AKP, sambil ditemani lagu indie nya M.

Pemandangan Sekitar


Badan saya sebenarnya sudah lelah karena kurang tidur di hari sebelumnya, serta pusing karena medan jalan yang berkelok-kelok dan inginnya tidur di mobil tetapi nggak bisa karena yang nyetir juga bikin mumet serta kondisi jalan tersebut, saya mencoba tidur di belakang (baris tiga) tetapi tetap nggak bisa yang ada kepala saya malah semakin pusing, singkat cerita  tiba di hotel dengan muka teler saya langsung check-in dan pas dapat kamar agak terkesima bahwa kamarnya besar dan lumayan mewah, walau begitu saya mencoba untuk tidur tetapi tidak bisa juga karena saya terlalu fokus sama sepatu saya yang terkena lumpur.

Hotel

Malamnya, kami lanjut pergi untuk mencari makan malam ke daerah Punclut, suatu daerah di Bandung atas, pemandangannya menghadap ke kota Bandung yang gemerlapan dengan cahaya lampu di waktu malam, saya tidak memilih restoran dan membiarkan M yang memilih karena beliau mau nostalgia, yang menurut saya dia itu benci tapi rindu juga sama kawannya yang pernah pendidikan di Bandung. Kemudian kami memesan makanan apa-apa saja lalu menikmati makan malam di sana sambil mengobrol banyak hal bersama dengan sopir rental yang kami sewa.

‎ ‎
Suasana Punclut dan Makanannya

Dari sana, kami pun pulang ke hotel, lalu beristirahat. 

----

Hari ke-3 Gabut di Bandung

Karena suatu hal kami tidak jadi untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, tapi menambah satu hari menginap di hotel dan pilihannya jatuh ke pada sebuah hotel kelas menengah di daerah Cihampelas, paginya kami jalan-jalan ke Toserba Borma, salah satu toserba besar di Jawa Barat karena sepatu M rusak sehingga beliau mau beli sepatu walau akhirnya diurungkan, lalu siangnya kami tidak kemana-mana dan hanya karaokean di Ciwalk karena tempat karaoke di Jakarta belum pada buka. Sorenya, kami langsung cus berangkat ke tengah kota menikmati sekitaran Jalan Asia Afrika, dengan rincian nongkrong di tengah alun-alun Bandung (yang mana saya baru tahu kalau harus copot sepati di sana) dengan latar Masjid Raya lalu sebelum jalan ditutup kami pulang ke Cihampelas dan sempat berpisah sejenak karena M mau membeli oleh-oleh untuk keluarganya dan saya menunggu di lobi.

 
Alun-alun  

  Jl. Asia Afrika

Hari ke-4 Pulang

Keesokan harinya, kami pun pulang ke Jakarta, menyempatkan makan bubur ayam sebentar di Dipatiukur lalu cus dengan travel (shuttle), dan tidak menyangka harga yang murah namun tempat duduknya nyaman seperti kelas bisnis pesawat walau sopirnya ngebut seperti membawa kambing, yang naik hanya tiga orang saja.


Bubur Ayam

 Travel

Tiba di Jatiwaringin, kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing, selesai sudah kisah saya di Bandung bersama M, sahabat saya. 


Komentar