[Runaway Trip '19] Museum Mulawarman Tenggarong & Desa Budaya Pampang Samarinda (4)

Perjalanan pun di mulai dari Balikpapan dengan menggunakan mobil yang disewa oleh keluarga Simbok, menuju Tenggarong dengan persinggahan sementara di Masjid Cheng Ho yang bentuk arsitekturnya terinspirasi dari budaya Tionghoa, cukup unik juga.



Lama perjalanan kira-kira tiga jam dengan melewati hutan belantara yang benar-benar rimbun, jalan berkelok-kelok, Sungai Mahakam yang sudah amat terkenal dan tempat penambangan batu bara serta pemandangan lain yang tidak kita temukan di Jawa, cukup menarik. 

Museum Mulawarman Tenggarong

Kamipun tiba di Tenggarong, tepatnya di Museum Mulawarman ini menurut saya bagus, karena dikelola dengan baik dan lumayan terawat serta tarif masuknya juga relatif murah dan ruangannya bersih jika dibandingkan dengan beberapa museum di Jawa.



Karena perjalanan yang jauh, kamipun hendak ke toilet untuk menuntaskan art water (air seni), ternyata usut punya usut toiletnya lumayan jauh dari gedung utama museum, namun kebersihannya amat dijaga karena masih baru banget karena tercium dari bau chat. Keluar dari toilet tiba-tiba ada orang yang menjadi badut Teletubbies yang menurut saya kasihan karena di kala cuaca yang sangat terik tetapi mereka mencari rezeki dengan menjadi orang orangan. Saya lihat bajunya sangat tebal dan kamipun berfoto terutama Simbok untuk membantu beliau. 





Di depan gedung museum terdapat patung (tiruan) Lembu Swana yang merupakan lambang dari Kesultanan Kutai yang dulunya mungkin sebagai kendaraan tunggangan tokoh pada masa lampau. Merujuk pada Wikipedia :

Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa. Lembuswana merupakan hewan yang disucikan karena merupakan tunggangan Dewa Batara Guru dalam memberikan petuah dan petunjuknya. Lembuswana dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (Leman artinya gajah, melambangkan dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Lembuswana)

Masuk ke dalam ruangan museum, langsung disambut oleh bentuk singgasana untuk raja dan permaisuri, seperti bentuk kerajaan pada umumnya, bnetuknya tentu amat megah dengan kursi yang besar dan aksesoris pendukungnya yang mempunyai gaya Eropa, di bagian belakang singgasana (ruang lain) ada gamelan dan wayang khas Jawa kuno yang menegaskan bahwa pada masanya ada hubungan antara Kesultanan di Dayak dengan Jawa.



Di tengah-tengah gedung terdapat foto raja-raja pada masa Kesultanan Kutai dan patung setengah badan Gubernur Kalimantan Timur dari AW Syahrinie hingga Awang Faroek Ishak (Isran Noer belum ada pada waktu itu) yang digambarkan dalam gambar dan patung-patung yang diletakkan berurutan beserta informasi pendukung.

Di bagian samping gedung, terdapat beberapa pernak-pernik atau aksesoris kuno pada masa Kesultanan Kutai seperti senjata, pakaian, mata uang, alat-alat hidup dan lain-lain bahkan ada replika Candi Borobudur, dan ada replika yupa juga. Sedangkan di bagian belakang gedung museum ada diorama kehidupan tentang kehidupan di Kalimantan Timur pada umumnya, seperti pengeboran minyak, tambang, hutan dengan bekantan atau beruang madu, dll. Menarik juga sebenarnya.



Pada bagian lain, terdapat tempat tidur raja yang sangat megah yang telah dilapisi oleh kaca agar tidak dirusak oleh pengunjung dan beberapa pernak-pernik lain seperti gambaran perlengkapan bayi yang baru lahir pada masa itu seperti bedong, tempat tidur bayi yang antik, ayat suci Alquran yang bentuknya belum semodern sekarang. Dan terdapat tangga kayu ke bawah tanah yang ternyata ada koleksi keramik dan guci yang mungkin dari Cina, Jepang dsb dan jumlahnya amat banyak.


Di ruang lain dalam ruang bawah tanah juga terdapat diorama yang berisi tentang ikat kepala khas Nusantara dari 27 Provinsi di Indonesia, iya Anda tidak salah baca, diorama ini benar-benar terasa antik karena tidak diperbaharui, karena masih ada Timor Timur dan tidak ada Banten, Bangka Belitung, Kepri, Kaltara, dan Papua Barat (namanya masih Irian Jaya). Sebenarnya menarik namun sayang tidak begitu terawat.

Vitrin Keramik
Vitrin Ikat Kepala


Hiasan Kepala Nusantara

Selesai berkeliling museum, maka perjalanan dilanjutkan ke Samarinda walaupun sebelumnya mampir ke rumah malkan Padang karena tanteku belum sarapan, harga rumah makan Padang di Tenggarong dan di Yogyakarta bedanya amat jauh, di sini Rp24.000 satu porsi dan di Yogyakarta hanya Rp28.000 dua porsi. Dari sana kamipun langsung cus ke arah Samarinda. 

___

Rencananya, saya akan diajak menonton kebudayaan Dayak di Desa Budaya Pampang di Samarinda, biasanya acaranya dimulai pukul dua siang dan sebelum kesana kami menyempatkan diri untuk berhenti di sebuah restoran yang sebenarnya sangat baik dengan fasilitas yang memadai (toilet dan musholla dalam keadaan yang lumayan mewah) dan banyak colokan listrik.

Atas prakasa Simbok, kamipun mencoba Gami Bamis, ikan air tawar khas Kalimantan Timur, secara garis besar rasanya enak ada unsur pedasnya, namun sayang pelayanan di restoran ini kurang baik karena mencari kembalian harus menunggu di ambil ke lantai dua dulu sehingga membuang waktu.

Gami Bamis
___

Desa Budaya Pampang

Perjalanan pun dilanjutkan ke Desa Budaya Pampang yang aksesnya kurang baik karena jalanan Samarinda yang kecil dan sedang perbaikan jalan ditambah macet sehingga membuat waktu tempuh menjadi molor, lokasinya agak naik perbukitan (atau gunung?) ke arah bandara baru APT Pranoto. Lama kemudian, kamipun tiba di lokasi dengan melewati perkampungan rumah Dayak modern. Sebelum masuk area parkir Desa Pampang, kamipun disodorkan tiket masuk dan bayar on the spot.

Arsitekturnya bergaya kebudayaan Dayak yang amat kental dengan ukiran khasnya dengan bentuk perisai (Talawang) yang indah, sebenarnya budaya seperti ini jangan sampai hilang dengan dalil globalisasi. Menurut saya, yang membuat menarik adalah pagelaran budayanya saja, karena komplek desa budaya ini hanya mempunyai satu bangunan besar yang los (untuk pagelaran) dengan ruang ganti penari dibaliknya, samping-sampingnya hanya toko-toko cinderamata dan belakangnya hanya toilet yang tidak terawat (toilet wanita dikunci entah kenapa) dan bangunan pendukung. Ekspektasi saya agak ketinggian karena baru mengunjungi Desa Adat Penglipuran.



Kami datang agak terlambat karena acara dimulai pukul dua, sedangkan waktu itu pukul setengah tiga, begitu masuk kamipun langsung dan lucunya pintu menuju tempat pementasan semuanya digembok, padahal seharusnya tidak. Akhirnya kami berjalan ke samping bangunan dan melompati pagar sedikit untuk menerabas, tidak menyalahi aturan sebenarnya hanya kaki kemeng karena pegal.

Saya pun menonton beberapa pertunjukkan yang menurut saya menarik, banyak tarian khas Dayak yang memukau dan enerjik, serta menantang. Sebenarnya ada informasi yang diberikan MC kepada penonton, tetapi karena bicaranya sangat cepat seperti Eminem sedang nge-rap, maka sayapun kurang memahami apa yang dibicarakan. 

Ada beberapa poin yang saya tangkap dari penjelasan MC, yaitu menolak sesuatu yang jahat, dan ada juga lambang kekompakan dan kepercayaan antara satu sama lain, seperti gerakan menghindari kaki dari jepitan kayu. Dan penonton dapat berinteraksi dalam permainan tersebut, alhasil orang-orang pada ikutan karena yang main masih muda semua dan sebagian adalah cowok-cowok. Wanita Dayak memang luar biasa, mungkin kalau lihat difoto sepertinya biasa saja namun kalau ketemu langsung wah dahsyat dan sangat luar biasa ayu dan manis, seperti orang Asia Timur.

Penampil

Dengan bantuan tante saya, saya pun dapat berfoto dengan beberapa orang penampil, yang terdiri dari cewek-cewek Dayak yang masih muda-muda belia yang harum dan berparas menarik, jika dilihat dari gambar atau foto mungkin terlihat biasa saja namun jika dilihat langsung maka paras cantiknya terpancar benar. Dilanjutkan berfoto dengan ibu-ibu penari yang ramah dan murah senyum serta baik hati. Yang terakhir adalah berfoto dengan penampil orang tua yang mempunyai telinga yang panjang.




Saran saya, untuk ke beberapa tempat ini adalah lebih baik sewa kendaraan, karena jarang ada transportasi publik karena aksesnya yang harus mendaki gunung lewati lembah di pinggir kota, lebih realistis juga, syukur kalau ada yang mendampingi seperti guide. Jika dari Balikpapan mungkin agak jauh karena jalanannya melewati hutan belantara dengan medan berkelok-kelok serta gelap sewaktu malam, namun setelah adanya tol ke Samarinda, saya rasa tidak ada masalah sama sekali.

Pulangnya, kami melewati kota Samarinda dengan beberapa spot terkenal seperti Islamic Centre Samarinda dan jembatan di atas sungai (Mahakam) yang menurut saya indah walaupun strukturnya mirip dengan jembatan di Sydney. Sebelum menembus perjalanan ke Balikpapan, kamipun menyempatkan diri untuk makan malam  di nasi bakar (yang punya orang Malang) dan harganya agak tinggi karena di Kalimantan, tetapi rasanya enak.

Islamic Centre


Setelah makan, kami pun pulang ke Balikpapan dengan jalan yang berkelok-kelok lagi di tengah hutan belantara lalu langsung beristirahat.

Komentar