[Kisah Juni '19 - 1] : Tiket Murah Berujung Mencoba Yogyakarta International Airport (YIA) Setengah Jadi


Hanya sebuah pengalaman kisah jalan-jalan pada pertengahan tahun kemarin, sudah sangat tidak relevan jika dibuat acuan itinerary karena penerbangannya hanya musiman, kendaraannya juga sudah berbeda termasuk kondisi bandara dan jalan raya. 
_____

Pada mulanya saya tidak sengaja menemukan harga Airasia yang relatif murah (hanya Rp350.000 saja), dan kebetulan penasaran juga dengan bandara Kulon Progo, dan kebetulan Airasia ini hanya menjual extra flight saja, menurut saya ini kesempatan yang langka untuk mencoba bandara baru. Tanpa pikir panjang, saya yang masih kelelahan pulang dari Yogyakarta dari jalan darat, terbang lagi ke sana !


Singkat cerita keesokan harinya, saya pun berangkat ke Bandara CGK, baru pertama kali juga terbang domestik dari terminal 2E yang biasanya untuk internasional, dan saya bertanya kepada staff darat, bahwa penerbangan kali ini yang terbang betul-betul banyak, hanya 40 orang saja, mantap toh?








Terbang tanpa halangan dari Jakarta menuju Yogyakarta dan kali ini rutenya agak aneh karena melewati laut lepas, dan anehnya sempat holding sebelum mendarat jadi tidak langsung lurus terus mendarat, padahal bandaranya sepi tapi kok masih berputar untuk holding? Sekadar info, jalur holding di YIA namanya ''GUDEG''





Rute Penerbangan (Sumber : Forum skyscrappercity.com)

Akhirnya pesawat pun mendarat dengan sempurna tanpa harus ngerem-ngerem seperti di bandara JOG, karena panjangnya bisa untuk mendarat pesawat besar, alhamdulillah telah menginjakkan kaki di bandara baru walaupun masih setengah jadi.


Pemandangan dari Udara

Saya melihat desain bandaranya biasa saja, tidak ada unsur Jawa, agak disayangkan padahal DIY adalah salah satu pusat kebudayaan Jawa, sebenarnya kalau modelnya ada rumah joglo mungkin lebih keren seperti Haneda bentuk bangunannya terinspirasi dari bentuk rumah Jepang. Lagipula saya melihat progress dari awal memang hambar saja desainnya, semoga interiornya bisa dimainkan dengan cantik dan tidak berujung seperti T3 karena arsiteknya sama.

Arsitektur Bandara


Malah menurut saya bandara Soekarno Hatta Terminal 1 dan 2 malah lebih terasa Jawa nya dibanding ini, saya lebih setuju bangunan zaman Pak Harto karena arsitekturnya benar-benar Indonesia sekali. Bangunan modern yang masih menerapkan konten lokal adalah Bali dan Lombok, serta Minangkabau dan Solo.


Salah satu eskalator yang akan digantikan tangga

Ketika masuk jembatan dari garbarata (fixed-bridge), kesan besar benar-benar terasa dan saya kaget ternyata materialnya adalah marmer ! Agak jarang bangunan bandara sekarang pakai marmer (tetapi bagian lain yang saya pantau dari Skyscrapercity per Desember 2019, rata-rata interiornya menggunakan homogenous kecuali bagian fixed-bridge). Walaupun tidak mewah, tetapi jembatan ini benar-benar bagus dan kalau dipikir-pikir, besar jembatan ini sama dengan ruangan check-in di Bandara Adisutjipto.

Karena tidak ada akses menuju gedung keberangkatan sementara, maka penumpang yang turun dari garbarata ujung-ujungnya harus menggunakan tangga samping, walaupun di ujung garbarata ada lift hanya tidak tahu sudah bisa digunakan apa belum. Akhirnya kami lewat tarmac / tempat parkir dan bisa foto-foto, rasanya senyap banget seperti mendarat di tengah desa, benar-benar tidak ada suara kendaraan rasanya.




Tangga dan Mesti Lewat Bawah

Bandaranya memang besar, walau saya agak bingung kenapa harus dipaksa buka walau masih setengah jadi, tetapi begitu masuk gedung, saya lihat interiornya bagus walau masih sementara, disambut gending-gending Jawa, toiletnya juga jauh lebih baik dari T3 CGK, hanya saja begitu keluar sangat terlihat proyek masih berjalan, bangunannya masih benar-benar U/C atau Under Construction.


Ruangan Bagasi Sementara

Sisi Lain, Toiletnya Bagus

Ketika keluar gedung, terdapat beberapa gerai seperti minimarket, kafe, dan toko oleh-oleh serta booth pariwisata yang dirancang benar-benar lebih niat dari pusat informasi turis di T3 dengan informasi yang jauh lebih jelas walaupun tidak mengandalkan teknologi, Angkasa Pura 1 jauh lebih baik memang.


Sudut Luar




Gedung Masih Terlihat Dibangun

Ketika di depan, saya ditawari beberapa tukang taksi, menurut saya aneh sekali bandara baru tetapi sopir taksi yang menawarkan dengan agresif masih dipakai saja, dan harganya sudah pasti mahal, dari Adisutjipto ke Kota saja dahulu mintanya saja hampir Rp80.000 apalagi dari Kulon Progo yang jaraknya 6x lebih jauh.


Pada awalnya saya hendak naik kereta dengan cara naik shuttle DAMRI dari YIA ke Stasiun Wojo lalu saya bisa naik kereta apapun yang lewat di Wojo, namun sayang jadwal DAMRI harus mengikuti kereta bandara (yang harganya Rp40.000, tidak bisa naik Prameks yang Rp8.000) sehingga saya harus menunggu satu jam lebih, tetapi saya tidak mau dan melihat ada solusi lain.

Nah, saran saya, lebih baik jika naik DAMRI (yang ke kota) karena lebih cepat dan relatif murah serta tidak harus mencocokkan jadwal kereta api bandara. Rp50.000 dengan tujuan Maguwo (Bandara Adisutjipto), nanti tinggal turun di daerah Janti (flyover dekat Suharti), lalu bisa lanjut naik TransJogja atau kendaraan lain. Atau naik yang memang ke arah kota sekalian karena sekarang sudah banyak rute, termasuk SatelQu


Tempat mangkal DAMRI dekat tempat parkir, keluar pintu belok kanan, terus ikutin kanopi, belok kiri teus menyeberang jalan, di situ sudah terlihat. Kalau bingung bisa tanya informasi, kemarin juga saya bertanya.

(Tahun 2020 dst, mereka ada di jalur kedua di lantai kedatangan Bandara Internasional Yogyakarta, pastikan tanyakan kembali tujuannya karena tulisan dengan realita kadang suka tidak sinkron) 

Saya kira saya akan naik bus yang besar, ternyata saya digiring naik kendaraan van yang untungnya lumayan lega, tidak apa lah. Tetapi saya agak terganggu dengan seorang mahasiswa yang lugu menyanyikan lagu yang didengar dari headset nya dengan sangat keras padahal suasana mobil sangat senyap. Orang-orang pada melihat keheranan tetapi kami biarkan saja namanya juga anak muda.



DAMRI


Jalanannya benar-benar belum siap, hanya jalan dua jalur kiri dan kanan di daerah Temon sampai Bantul (walau ada beberapa jalan sudah empat jalur), dan baru jalan besar ketika melewati Ringroad Selatan, menurut saya pribadi jalan seperti ini tidak layak disebut jalan menuju bandara internasional karena memang jalan lintas di perdesaan, dan kalau sudah ada sesuatu seperti pasar tumpah, halangan bahkan kecelakaan dan lain-lain bisa dipastikan jalanan akan macet dan bisa-bisa berhenti total.




Semestinya harus ada jalan tol menuju bandara sebagai akses (tetapi Ngarso Dalem belum menyetujui karena faktor ekonomi masyarakat sekitar), kalaupun tidak ada tol minimal ada jalan besar seperti Ringroad di daerah Sleman dan Bantul di Yogyakarta. Yang paling logis dibangun jalan tanpa persimpangan atau lampu merah, seperti jalan raya menuju BIL (Bandara Internasional Lombok), mungkin YIA bisa meniru (termasuk namanya menjadi BIY).





Keluar Bandara, Pemandangannya Seperti Ini

Perjalanan dari YIA ke Transmart Maguwo sejauh 40 KM ditempuh dalam waktu dua jam, menurut saya agak kelamaan di jalan, yang tadinya niat saya mau makan siang jadi makan sore. 

Sebenarnya ada masalah yang seharusnya diselesaikan dengan baik :

  1. Paling penting adalah akses jalan seperti yang disebutkan di atas, harusnya ke bandara menggunakan jalan yang benar-benar siap, besar, dan minimal 4 jalur seperti di Lombok, kalau tidak ada tol, jalan harus setara jalan biasa, yang sekarang kurang sekali karena jalanan ndeso, bukan jalan raya seperti antar provinsi.
  2. Kendaraan umum diperbanyak dan diperjelas titik keberangkatan dari Yogyakarta di mulai dari mana menuju YIA, informasi masih sangat minim, kalau ada bus sejenis JR Connexion mungkin lebih baik. 

_________________

Ulasan ditulis Juni 2019, dan mungkin jika bandaranya sudah jadi semua, semua ini akan menjadi tidak relevan termasuk tempat DAMRI, kereta api, jalan raya, interior gedung sementara. Kecuali bagian landasan dan garbarata saja, itu sudah tidak akan berubah.

Sengaja tidak terlalu banyak penambahan (update), karena memang saya biarkan sebagai kisah yang lalu saja. 

Komentar